Guru Bangsa

Pendidikan Islam
RSS

Total Tayangan Halaman

V SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA

Oleh: Dedy Irawan Maesycoery

PENDAHULUAN
Perkembangan pendidikan islam diIndonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern. Lembaga pendidikan islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya. Perkembamgan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensip. Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelolah pendidikan islam pada masa-masa berikutnya.

PEMBAHASAN
A. Kedatangan Islam Di Indonesia
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian , terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara cina dan india. Sementara itu , Pala dan Cengkeh yang berasal dari Maluku , dipasarkan di Jawa dan Sumatra untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan – pelabuhan penting di Sumatra dan jawa antara abad ke I dan ke VII M sering disinggahi pedagang asing seperti , Lamuri ( Aceh ) , Barus dan Palembang di Sumatra ,(sunda Kelapa dan gresik di Jawa ).
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak Abad ke- 7 M (Abad I H), ketika islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka jauh sebelum ditaklukan Portugis (1551), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melelui Malaka, hasil hutah dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat,yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka pada waktu itu. Dengan demikian, Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting.
Ada induksi bahwa kapal-kapal Cina pun mengikuti jalan tersebut sesudah abad-9 M, tetapi tidak lama kemudian kapal-kapal tersebut hanya sampai dipantai Barat India karena barang-barang yang diperlukan sudah dapat dibeli disini. Kapal-kapal Indonesia juga mengambil bagian dalam perjalanan niaga tersebut. Pada zaman Sriwijaya , pedagang-pedagang Nusantara mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai Timur Afrika.
Menurut J.C. van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab Di Barat Laut Sumatra yaitu di Barus, daerah penghasik kapur barus terkenal. Dari berita Cina bisa diketahui bahwa dimasa Dinasti Tang (abad ke 9-10) orang-orang Ta-Shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi Muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan islam dibawah Bani Umayyah di bagian Barat dan kerajaan cina zaman dinasti T”ang di Asia bagian timur serta kerajaan sriwijaya di Asia Tenggara. Akan tetapi menurut Taufik Abdullah , belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat – tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu beragama islam. Adanya koloni itu , diduga sejauh yang paling bias dipertanggungjawabkan , ialah para pedagang arab tersebut , hana berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.
Baru pada zaman – zaman berikutnya , penduduk kepulauan ini masuk islam , bermula dari penduduk pribumi di koloni – koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad ke – 13 M , masyarakat muslim sudah ada di samudera pasai , perlak , dan Palembang di Sumatera. Di jawa , makam Fatimah binti Maimun di Leran ( Gresik ) yang berangka tahun 475 H ( 1082 M ) , dan makam – makam islam di Tralaya yang berasal dari abad ke – 13 M merupakan bukti berkembangnya komunitas islam , termasuk Majapahit. Namun sumber sejarah yang shahih yang memberikan kesaksian sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan tentang berkembangnya masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasati dan historiografi tradisional maupun berita asing , baru terdapat ketika “ komunitas islam “ berubah menjadi pusat kekuasaan.
Sampai berdirinya kerajaan – kerajaan Islam itu , perkembangan agama islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Singgahnya pedagang – pedagang islam di pelabuhan – pelabuhan Nusantara. Sumbernya , di samping berita – berita asing , juga makam – makam islam , dan (3) Berdirinya kerajaan – kerajaan islam.

B. Periodisasi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia
Pendidikan islam pada dasarnya dilaksanakan dalam upaya mengetahui kehendak umat islam pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang dianggap sebagai Need of Life. Usaha yang dimiliki apabila kita teliti dan kita perhatikan merupakan upaya untuk melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an terutama yang tertuang pada surat al-‘Alaq 1-5, yang mana itu merupakan salah satu contoh dari operasionalisasi penyampaian dari pendidikan tersebut.
Harun Nassution, secara garis besar membagi sejarah islam menjadi tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Periode pembahasan tentang lintasan atau periode Sejarah Pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Periode pembinaan pendidikan Islam, yang berlangsung pada masa Nabi Muhammad.
2. Periode pada pertumbuhan pendidikan islam, yang berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umayyah.
3. Periode kejayaan Islam, yang berlangsung sejak permulaan daulah Bani Abbasiyyah sampai dengan jatuhnya kota Baghdad.
4. Tahap kemunduran pendidikan yang berlangsung sejak jatuhnya kota Baghdad sampai dengan jatuhnya Mesir oleh Napoleon Bonaparte disekitar abad ke-13 M.
5. Tahap pembaharuan pendidikan islam yang berlangsung sejak pendidikan Mesir oleh Napoleon diakhir abad ke-18 M sampai sekarang ini.
Sementara itu kegiatan pendidikan islam di Indonesia yang lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuknya dan berkembangnya islam di Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka melacak Sejarah Pendidikan Islam di Indonesiadengan periodesasinya baik bagi pemikiran, isi maupun pertumbuhan organisasi dan kelembagaannya serta pola kebijakan pemerintah pertumbuhan organisasi dan kelembagaannya serta, fase-fase penting yang dilalui, secara garis besar fase tersebut dapat dibagi menjadi :
1. Periode masuknya Islam ke Indonesia.
2. Periode pengembangan Kerajaan-kerajaan Islam.
3. Periode pengembangan Kerajaan-kerajaan Islam.
4. Periode penjajahan Belanda.
5. Periode penjajahan Jepang.
6. Periode Kemerdekaan I (Orde Lama)
7. Periode Kemerdekaan II (Orde Baru / Pembangunan)

C. Sejarah Dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Di Nusantara
1. Surau
Pembahsan tentang Surau sebagai lembaga pendidikan Islam di Minangkabau, hanya dipaparkan sekitar awal pertumbuhan suara sampai dengan lahirnya gerakan pembaruan di Minangkabau yang ditandai dengan berdirinya madrasah sebagai pendidikan alternatif.
Fungsi surau yang tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa kini, eksistensi surau di samping sebagai tempat sholat juga digunakan oleh Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan agama Islam, khususnnya tarekat (suluk).
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Alquran, di samping ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
a. Pengajaran Alquran, untuk mempelajari Alquran ada dua macam tingkatan
1) Pendidikan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Alquran dan membaca Alquran.
2) Pendidikan atas, yaitu pendidikan dengan membaca Alqur’an dengan lagu, Qosidah, barzanji, Tajwid, dan kitab Parukunan.
b. Pengajian kitab
Materi pendidikan pada zaman ini meliputi: Ilmu Shorof dan Nahwu, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir, dan ilmu lain-lainnya.
Metode pendidikan yang digunakan di Surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhya metode pendidikan Surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoretis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks.
2. Meunasah
Meunasah merupakan tingkat pendidikan islam terendah. Meunasa berasal dari Arab Madrasah. Meunasa merupakan satu bangunan yang terdapat disetiap gampong (kampung, desa).
Diantara fungsi Meunasah antara lain :
a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara Agama, musyawarah, dan menerima tamu.
b. Sebagai lembaga pendidikan islam dimana diajarkan pelajaran membaca alqur’an.
3. Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan Pe dan akhiran An yang menujukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para Santri. Disisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaanya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara unifornitas karena setiap pesantren memiliki keunikan masing-masing, dintara karakteristik pesantren itu dari segi ;
a. Materi pelajaran dan metode pengajaran
b. Jenjang pendidikan
c. Fungsi pesantren
d. Kehidupan Kiai dan Santri
4. Madrasah
Sejarah dan perkembangan Madrasah akan dibagi dalam dua periode yaitu:
a. Periode sebelum kemerdekaan
Madrasah sebagai lembag pendidikan islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalm ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat islam.
Latar belakang pertumbuhan madrasah di indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu .
1. Gerakan pembaharuan islam di indonesia
Gerakan pembaharuan islam di indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan karel A Steenbrik.
2. Respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Pertama kali bangsa Belanda datang kenusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam nysantara yang sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang tadi beruba untuk menguasai wilayah nusantara dan menanamkan pengaruh dinusantara sekaligus dengan mengembangkan fahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu Glory (kemenagan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekuasaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya salibisasi terhadap umat islam di Indonesia).
b. Periode sesudah kemerdekaan
Setelah kemerdekaan indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah departemen agama yang akan mengurus keberagamaan di Indonesia termasuk didalamnya pendidikan, khususnya Madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada dibawah naungan Departemen Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan. Kebijakan yang dikeluarkan SKB3 menteri tanggal 24 Maret 1975 membawa pengaruh yang sangat besar bagi Madrasah, karna pertama, Ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan kesekolah umum yang setingkat lebih tinggi, ketiga, siswa madrasah dapat pindah kesekolah umum yang setingkat.

D. Mengkritisi Sistem Pendidikan Islam Masa Kerajaan Islam
Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan ini, karena dalam sejarah tidak pernah terjadi sebuah Kerajaan Islam di Aceh menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang terkenal kemegahan dan kebesarannya itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan ”Kronika Pasai”, bahwa Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gajah Mada yang telah menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka akan terungkap sebuah sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh para penjajah dan antek-anteknya untuk mengecilkan peran Kerajaan-Kerajaan Islam diAceh dalam proses Islamisasi di Nusantara.
Fakta yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Aceh telah berhasil menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan mengungkap dari mana asal sebenarnya ”Puteri Champa” yang menjadi istri Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Hindu Majapahit, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama yang mengakhiri riwayat Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa.
Banyak ahli sejarah Islam Nusantara yang masih bingung dengan keberadaan Kerajaan ”Champa”, negeri asal ”Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu” yang dianggap memiliki peran penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap awal, terutama antara kurun abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan keberadaan ”Champa”, ada dua teori yang beredar. Pertama teori yang didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kamboja-Vietnam sekarang. Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo yang berperan dalam proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara dengan mengenyampingkan sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar Aceh dalam Islamisasi Nusantara.
Tentu karena mereka beranggapan bahwa Champa Kamboja-Vietnam adalah wilayah Muslim dan pusat Islam yang jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah di Aceh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan menjadi rujukan para cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh.
Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik Ibrahim dan asal saudara iparnya ”Putri Champa Penakluk Majapahit”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Aceh maupun Kamboja.
Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?
Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara. Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.
Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Popularitas Jeumpa (Aceh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Persi-India dan Melayu, yang di Aceh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Aceh yang masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya di sekitar Bireuen.
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Champa”) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.
Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula.
Mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kamboja dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa ”Champa” yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.
Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.
Maka ditempuhlah jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Rupanya para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.
Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi. Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak, Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.
Seorang menteri pendidikan mestilah seorang budayawan seperti Muhammad Yamin, yang memahami perkara budaya nasional Indonesia sejak 6000 tahun yang lalu ketika merah putih sudah dikenal dan digunakan sebagai lambang negara, seorang negarawan seperti Soekarno yang tidak menggadaikan jiwanya kepada bangsa-bangsa asing, seorang pemberani seperti Mochtar Lubis yang berani mengkritisi diri. Menteri yang diangkat dari, oleh, atau pun atas saran partai adalah penghinaan terhadap pendidikan. Dan membuktikan ketidak seriusan kita dalam hal ini.
Yang kedua adalah dengan meningkatkan mata pelajaran yang dapat memperkuat keberadaan kebudayaan bangsa seperti sejarah, kesenian dan muatan lokal lain yang sesuai. Mari kita bahas terlebih dahulu hubungan pendidikan sejarah bangsa dengan kebudayaan. Nilai-nilai budaya akan tumbuh lewat pemahaman, kesadaran, dan kearifan budaya lokal. Sayang sekali, saat ini anak-anak Indonesia. Hanya menghafal tahun dana peristiwa. Tidak pernah mempelajari sejarah untuk memperoleh semangat darinya. Baik pemerintah maupun para guru di sekolah, tidak ada yang berani mengungkapkan bahwa Dinasti Sriwijaya dan Dinasti Majapahit bukanlah Dinasti Bhuddis atau Hindu, tetapi Dinasti Nusantara.
Ketika timur tengah masih tinggal di dalam kemah, masih mengembara, dan barat masih belum beradab, leluhur kita sudah berdagang dan berjualan rempah-rempah ke Afrika dengan menggunakan kapal sendiri. Adakah diantara kita yang mengapresiasi simetrisnya bangunan Borobudur, Prambanan, dan tak kalah juga Menara Kudus. Presisinya yang luar biasa. Jelas, leluhur kita tidak menggunakan komputer pada saat itu. Adakah keberanian di dalam diri kita untuk menghormati bangunan-bangunan tersebut sebagaimana kita menghormati bangunan-bangunan di Kudus, Demak, Pati, dan Jepara yang relativ lebih muda?
Tugas utama pendidikan sejarah perjuangan bangsa bukan untuk mengembangkan nilai-nilai budaya. Melainkan untuk menanamkan dan menyosialisasikan jiwa, semangat, dan nilai-nilai 1945, yaitu nilai-nilai yang telah memungkinkan keberhasilan para pendahulu kita dalam menegakkan, mempertahankan, membela, dan mengisi kemerdekaan. Sehingga akan timbul rasa cinta dan rasa memiliki bangsa pada jiwa peserta didik. Ketika peserta didik memiliki rasa cinta dan memiliki tersebut, maka rasa cinta terhadap kebudayaan bangsanya pun akan timbul sehingga mereka pun akan tergerak untuk mempelajari dan menjagaya. Nilai-nilai yang dapat ditumbuhkan melalui proses pendidikan sejarah perjuangan bangsa antara lain adalah:
1. Mengutamakan kepentingan umum dan bangsa diatas kepentingan pribadi.
2. Semangat rela berkorban dan mengabdi kepada Negara bangsa.
3. Sikap pantang menyerah dalam membela kepentingan bangsa dan Negara RI
4. Sikap persatuan dan kesatuan bangsa.
5. Sikap patriotik dalam mempertahankan dan memajukan bangsa.
6. Sikap membangun untuk kepentingan bersama.
7. Sikap bekerjasama untuk membangun bangsa.
8. Bersikap adil, berjiwa merdeka dan cinta perdamaian.
9. Jujur terhadap sesama dan diri sendiri, dan nilai-nilai luhur lainnya.
10. Tahan uji, ulet, dan tahan menderita dalam membela dan membangun bangsa.

A. KESIMPULAN
Pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. (1 H.).Agama islam baru di anut oleh penduduk Indonesia pada abad ke-13 M. hal ini terbukti dengan ditemukannya makam Fathimah binti Maimun di Leran Manyar Gresik.
Sejarah islam menurut Harun Nasution dibagi menjadi tiga periode yaitu, klasik, pertengahan dan modern. Lembaga-lembaga pendidikan pada awal masuknya Islam antara lain: Surau, Meunasa, Pesantren dan Madrasah.
Terdapat kerajaan-kerajaan Islam pada waktu itu, salah satunya adalah kerajaan Pasai yang menjadi pusat Islamisasi Nusantara. Tugas utama seorang pendidik adalah menanamkan dan mensosialisasikan jiwa, semangat dan nilai-nilai UUD 1945.

REFERENSI
Nizar, Syamsul, 2007. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Metia Group.
Badriyatin, 2006. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Gravindo Persada.
Rahman, Faizur, 1985. Islam dan Modernitas, Bandung: Pustaka.
Morgan, W. Kenneth, 1986. Islam Jalan Lurus, Jakarta: Pustaka jaya.
Nata, Abuddin, 1999. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Gravindo Persada.
Nasution, Harun, 1974. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

SURABAYA

2009

TRISMA'S 2008

TRISMA'S 2008
Soeve Yoed, Ibnoe Mz

Pengikut

Ibnoe Maesycoery13. Diberdayakan oleh Blogger.