Guru Bangsa

Pendidikan Islam
RSS

Total Tayangan Halaman

Fiqh; Ar-Rahn (Gadai)

Oleh: Dedy Irawan Maesycoery

A. Pengertian Ar-Rahn
Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan; bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un]. Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga berarti al-habs (penahanan). Dalam Ensiklopedi Indonesia, disebutkan bahwa gadai atau bak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik si berhutang yang diserahkan ke tangan si pemiutang sebagai jaminan pelunasan hutang si berhutang tersebut.[1] Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari kekuasaan si pemiutang. Si pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak berhak menggunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai itu, jika si berhutang tak mau membayar hutangnya. Jika hasil gadai itu lebih besar daripada hutang yang harus dibayar, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada si pegadai. Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran hutang, maka si pemiutang tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi itu. Penjualan gadai harus dilakukan di dapan umum dan sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu harus diberitahukan lebih dahulu kepada si pegadai. Tentang pelunasan hutang,pemegang gadai selalu didahulukan daripada pemiutang lainya[2]. Dalam kehidupan ini ada saja dari orang atau anggota masyarakat yang memerlukan dana mendesak, seperti untuk pengobatan,biaya hidup, dan masih banyak lagi keperluan-keperluan yang tidak bias dielakkan. Orang tersebut terpaksa meminjam uang dengan sesuatu jaminan barang, sebagai pegangan sekiranya uang pinjaman itu tidak dapat dikembalikan. Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya. Ar-Rahn disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (TQS al-Baqarah [2]: 283).
Aisyah ra. menuturkan: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Anas ra. juga pernah menuturkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ .
وَقَالَ يَعْلَى حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ دِرْعٌ مِنْ حَدِيدٍ وَقَالَ مُعَلًّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ وَقَالَ رَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wasalam pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR al-Bukhari)[3].
B. Rukun Ar-Rahn
Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu:
Shighat (ijab dan qabul) Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin) Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima)[4].
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf, maka akad ar-rahn tersebut sah.
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang iserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul Shalallahu alaihi wasalam telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita.
Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi. Para ulama’ bersepakat, salah satu syarat ar-rahn adalah keputusan di tangan murtahin sebelum ar-rohin. Dan para ulama’ berpeda pendapat apabila murtahin menerima harta dari barang goshb, kemudian ia memutuskan rahn dengan barang gosb tadi, maka imam malik mengatakan itu sah, dengan cara menjadikan rahn dengan barang gosb tadi ada ditangan penggosb sebelum murtahin menerima darinya, sementara imam syafi’i mengatakan, itu semua tidak boleh, karena harta gosb tetap gosb kecuali ia menyerahkannya kembali[5].
C. Syarat Ar-Rahn
Bagi orang yang menggadaikan barangnya dan orang yang menerima gadai, masing-masing disyaratkan harus orang yang mempunyai status sah atau berhak, yakni sudah dewasa (baligh), berakal dan sehat. Penggadaian sah jika dilakukan oleh si wali baik itu ayah atau kakek atau pemegang wasiat atau pula hakim. Tidak boleh menggadaikan harta anak kecil atau orang gila, sebagaimana tidak menerima gadai atas nama mereka berdua, kecuali bila ada hal-hal yang sifatnya terpaksa atau ada keuntungan yang jelas[6].
D. Hukum Ar-Rahn
Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim. [QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah[7].
* bÎ)ur óOçFZä. 4’n?tã 9�xÿy™ öNs9ur (#r߉Éfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌ�sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm­/u‘ 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy‰»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan : Diperbolehkan Ar-rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat Pertama : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).
Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-Rahn) adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan(jaminan pertanggung jawaban)”. Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajib. Demikian juga karena Ar-Rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti halnya Adh-Dhimaan (Jaminan Pertanggung jawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang). Disamping itu, juga karena ini adanya kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al-Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya[8].
Pendapat Kedua : Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah: “Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang rmaknanya perintah. Juga dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّة
“Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]
Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al-Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak.
Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya :
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)” [Al-Baqarah ; 283].
E. Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam masyarakat kita, ada cara gadai yang hasil barang gadaiannya itu, langsung dimanfaatkan oleh pegadai. Banyak terjadi, terutama di desa-desa, bahwa sawah dan kebun yang digadaikan langsung dikelola oleh pegadai dan hasilnya pun sepenuhnya dimanfaatkannya. Pada dasarnya pemilik barang seperti sawah atau kebun dapat mengambil manfaat dari sawah dan kebun itu, berdasaarkan sabda rasulullah :
ثنا أبو محمد بن صاعد نا محمد بن عوف نا عثمان بن سعيد بن كثير نا إسماعيل بن عياش عن بن أبي ذئب عن الزهري عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا يغلق الرهن لصاحبه غنمه وعليه غرمه
“ jaminan itu tidak menutupi yang punyanya dari manfaat barang ( yang digadaikan) itu, faedahnya kepunyaan dia (juga) wajib memikul beban ( pemeliharaan).” (HR. Syafi’I dan Darul-Quthni)[9].
Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-râhin. Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu).
Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama[10]. Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram. [Rasul bersabda : [HR al-Baihaqi]
كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا
Para jumhur-al-ulama’ berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan sesuatu dari barang gadai, dan kemudian ahmad dan ishaq berkata : apabila barang gadai tersebut berupa hewan maka bagi murtahin boleh memanfaatkannya sebesar makanan dan minuman yg diberikan kepada hewan itu. Mereka berkata demikian berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh abu hurairoh : “Ar-Rahnu markuubun wa mahluubun” [11].
عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : الرهن مركوب ومحلوب
F. Kapan Ar-Rahn (GADAI) Menjadi Keharusan?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah. Jadi pendapat pertama, perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.
Yang kedua adalah Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah[12].
G. Hukum-Hukum Setelah Serah Terima.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang.
1. Pemegang Barang Gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). [Al-Baqarah : 283]
Dan sabda beliau

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” [Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi]


2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi]
3. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya[13]
4. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nilai barang gadai dengan hutangnya dan ia wajib melunasinya[14].


DAFTAR PUSTAKA
Al Amaanah Al ‘Amah Lihai’at Kibar Al Ulama, Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, Cetakan pertama tahun 1422H


Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Dar- al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.


Hasan, M. ali, berbagai macam transaksi dalam islam, cetakan 1.jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2003.


Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir.
Ibnu rusyd, bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid , darul kutub, Beirut Lebanon.
Imron abu umar, fathul qorib jilid 1, menara kudus, 1983,
Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh
Samih ‘Athif az-Zain, Al-Mu'amalat, Darul kutub, Beirut, Lebanon, cetakan I, 1995


[1] Hasan, M. ali, berbagai macam transaksi dalam islam, cetakan 1.jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2003, 253.
[2] Ibid., 254.
[3] Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Dar al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006. 437.
[4] Ibnu rusyd, bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid , darul kutub, Beirut Lebanon. 660.

[5] Ibid.,
[6] Imron abu umar, fathul qorib jilid 1, menara kudus, 1983, 248.
[7] Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Dar- al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006. 437-438.

[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir. 444.
[9] Hasan, Berbagai Macam , 256.

[10] Samih ‘Athif az-Zain, Al-Mu'amalat, Darul kutub, Beirut, Lebanon, cetakan I, 1995, 285 dan 303-304.
[11] Rusyd, Bidayah , 663.
[12] Qudamah, Al-mugni, 446.
[13] Al Amaanah Al ‘Amah Lihai’at Kibar Al Ulama, Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, Cetakan pertama tahun 1422H, 134-135.
[14] Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, 115.a

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

SURABAYA

2009

TRISMA'S 2008

TRISMA'S 2008
Soeve Yoed, Ibnoe Mz

Pengikut

Ibnoe Maesycoery13. Diberdayakan oleh Blogger.