Guru Bangsa

Pendidikan Islam
RSS

Total Tayangan Halaman

Pendidikan Islam; KEDUDUKAN KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN & PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

Oleh: Dedy Irawan Maesycoery
I. KEDUDUKAN KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Tugas utama seorang guru adalah membimbing, mengajar, serta melatih peserta didik secara professional sehingga dapat mengantarkan peserta didiknya kepada pencapaian tujuan pendidikan. Sehingga untuk melaksanakan tugas tersebut guru harus berpedoman pada suatu alat yang disebut Kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pengajaran, serta cara yang digunakan dalam menyelenggarakan belajar mengajar (UU No. 2 Tahun 1989).
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. interaksi pendidikan ini dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Pendidikan yang berada dalam lingkungan keluarga maupun di masyarakat ini di namakan Pendidikan Informal. Pendidikan tersebut tidak memiliki kurikulum formal dan tertulis karena daam interaksinya dapat terjadi setiap saat , setiap kali bertatap muka, bergaul, berdialog dan bekerja sama antara orangtua dengan anak. Tanpa disadari banyak prilaku dan perlakuan spontan yang diberikan kepada anak, sehingga kemunginan terjadi kesalahan-kesalahan mendidik besar sekali. Orang tua menjadi pendidik juga tanpa dipersiapkan secara formal dan tertulis.
Sedangkan pendidikan yang berada dalam lingkungan sekolah dinamakan Pendidikan Formal. Dalam pendidikan ini pelaksanaan pendidikannya dibagi atau diatur tahapan/tingkatan pelaksanaan pendidikan. Dan tujuan dari setiap tingkatan pendidikan tersebut dinamakan tujuan lembaga pendidikan atau tujuan institusional. Untuk mencapai tujuan institusional diperlukan alat da sarana pendidikan, satu diantaranya adalah kurikulum untuk setiap lembaga pendidikan. Kurikulum inilah yang menjadi alat untuk membina dan mengembangkan siswa menjadi manusia yang berilmu, bermoral sebagai pedoman hidupnya serta beramal sesuai dengan fungsinya sebagai makhluk sosial.
Salah satu kelebihan pendidikan sekolah ialah memiliki rancangan atau kurikulum secara formal dan tertulis, pendidikan disekolah diaksanakn berencana, sistematis, dan lebih disadari.
Adanya rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupaka ciri utama pendidikan disekolah. Dengan kata lain, Kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan terutama pendidikan disekolah. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa Kurikulum merupakan syarat mutlak dan juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran.
Setiap praktek pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, untuk pencapaian tujuan-tujuan pendidikan ataupun menyampaikan bahan pelajaran tersebut diperlukan metode penampaian serta alat-alat bantu tertentu. Adapun Komponen-komponen Utama Kurikulum ialah tujuan, bahan ajar, metode-alat, dan penilaian. Dengan berpedoman pada kurikulum, interaksi pendidikan antara pendidik dengan peserta didik berlangsung
II. PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
Kurikulum adalah sesuatu yang diinginkan atau dicita-citakan peserta didik, artinya, hasil belajar yang diinginkan yang diniati agar dimiiki peserta didik. Semua keingina atau hasil belajar yang diinginkan disusun dan tertulis dalam bentuk roganm pendidikan yakni Kurikulum, yang wujudnya adalah buku kurikulum beserta petunjuk-petunjuknya.
Dalam setiap program pendidikan pasti mempunyai kurikulum, yang mana kurikulum tersebut biasanya tertuang dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), yang berguna sebagai pedoman guru dalam melaksanakan kurikulum dalam suatu sekolah. Isi yang terkandung dalam GBPP sudah tentu telah dipilih yang terbaik buat peserta didik. Sungguhpun apa yang telah dipilih dan disusun ini, bagaimanapun baiknya belum menjamin lulusan yang terbaik seperti ang diinginkan oleh Kurikulum itu sendiri, hal ini tidak lain disebabkan proses sampainya kepada peserta didik bergantung keada pelaksanaan kurikulum, yakni Guru. Gurulah yang menentukan sampai atau tidaknya niat da harapan yang ada dalam kurikulum tersebut dimiliki dan ada pada peserta didik tersebut. Proses transformasi nilai dan isi yang terkandung dalam kurikulum potensial tersebut oleh guru kepada siswa yang ditempuh melalui proses belajar mengajar. Oleh sebab itu dapat dikataka pengajaran adala aktualisasi dari kurikulum potensisl.
Maka tugas dan tanggung jawab guru dalam hubungannya denga kurikulum adalah Menjabarkan dan mewujudkan kurikulum potensial menjadi kegiatan nyata (Aktual) didalam kelas melalui proses belajar mengajar. Dengan kata lain mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung dalam buku kurikulum sesuai dengan petunjuknya, kepada siswa melalui proses belajar mengajar.
Agar bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut maka guru dituntut untuk:
1. Menguasai GBPP dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya
2. Terampil menyusun progam pengajaran dalam bentuk satuan pelajaran yang bersumber GBPP
3. Terampil melaksanakan proses belajar mengajar.
4. Memahami dan mau meaksanakan tindak lanjut dari proses belajar mengajar yang tidak dilaksanakan

Referensi
Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Disekolah, Bandung: Sianr baru Algensindo, 2008
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum, Banadung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997
READ MORE - Pendidikan Islam; KEDUDUKAN KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN & PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Fiqh; Ar-Rahn (Gadai)

Oleh: Dedy Irawan Maesycoery

A. Pengertian Ar-Rahn
Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan; bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un]. Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga berarti al-habs (penahanan). Dalam Ensiklopedi Indonesia, disebutkan bahwa gadai atau bak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik si berhutang yang diserahkan ke tangan si pemiutang sebagai jaminan pelunasan hutang si berhutang tersebut.[1] Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari kekuasaan si pemiutang. Si pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak berhak menggunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai itu, jika si berhutang tak mau membayar hutangnya. Jika hasil gadai itu lebih besar daripada hutang yang harus dibayar, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada si pegadai. Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran hutang, maka si pemiutang tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi itu. Penjualan gadai harus dilakukan di dapan umum dan sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu harus diberitahukan lebih dahulu kepada si pegadai. Tentang pelunasan hutang,pemegang gadai selalu didahulukan daripada pemiutang lainya[2]. Dalam kehidupan ini ada saja dari orang atau anggota masyarakat yang memerlukan dana mendesak, seperti untuk pengobatan,biaya hidup, dan masih banyak lagi keperluan-keperluan yang tidak bias dielakkan. Orang tersebut terpaksa meminjam uang dengan sesuatu jaminan barang, sebagai pegangan sekiranya uang pinjaman itu tidak dapat dikembalikan. Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya. Ar-Rahn disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (TQS al-Baqarah [2]: 283).
Aisyah ra. menuturkan: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Anas ra. juga pernah menuturkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ .
وَقَالَ يَعْلَى حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ دِرْعٌ مِنْ حَدِيدٍ وَقَالَ مُعَلًّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ وَقَالَ رَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wasalam pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR al-Bukhari)[3].
B. Rukun Ar-Rahn
Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu:
Shighat (ijab dan qabul) Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin) Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima)[4].
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf, maka akad ar-rahn tersebut sah.
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang iserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul Shalallahu alaihi wasalam telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita.
Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi. Para ulama’ bersepakat, salah satu syarat ar-rahn adalah keputusan di tangan murtahin sebelum ar-rohin. Dan para ulama’ berpeda pendapat apabila murtahin menerima harta dari barang goshb, kemudian ia memutuskan rahn dengan barang gosb tadi, maka imam malik mengatakan itu sah, dengan cara menjadikan rahn dengan barang gosb tadi ada ditangan penggosb sebelum murtahin menerima darinya, sementara imam syafi’i mengatakan, itu semua tidak boleh, karena harta gosb tetap gosb kecuali ia menyerahkannya kembali[5].
C. Syarat Ar-Rahn
Bagi orang yang menggadaikan barangnya dan orang yang menerima gadai, masing-masing disyaratkan harus orang yang mempunyai status sah atau berhak, yakni sudah dewasa (baligh), berakal dan sehat. Penggadaian sah jika dilakukan oleh si wali baik itu ayah atau kakek atau pemegang wasiat atau pula hakim. Tidak boleh menggadaikan harta anak kecil atau orang gila, sebagaimana tidak menerima gadai atas nama mereka berdua, kecuali bila ada hal-hal yang sifatnya terpaksa atau ada keuntungan yang jelas[6].
D. Hukum Ar-Rahn
Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim. [QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah[7].
* bÎ)ur óOçFZä. 4’n?tã 9�xÿy™ öNs9ur (#r߉Éfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌ�sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm­/u‘ 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy‰»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan : Diperbolehkan Ar-rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat Pertama : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).
Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-Rahn) adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan(jaminan pertanggung jawaban)”. Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajib. Demikian juga karena Ar-Rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti halnya Adh-Dhimaan (Jaminan Pertanggung jawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang). Disamping itu, juga karena ini adanya kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al-Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya[8].
Pendapat Kedua : Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah: “Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang rmaknanya perintah. Juga dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّة
“Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]
Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al-Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak.
Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya :
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)” [Al-Baqarah ; 283].
E. Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam masyarakat kita, ada cara gadai yang hasil barang gadaiannya itu, langsung dimanfaatkan oleh pegadai. Banyak terjadi, terutama di desa-desa, bahwa sawah dan kebun yang digadaikan langsung dikelola oleh pegadai dan hasilnya pun sepenuhnya dimanfaatkannya. Pada dasarnya pemilik barang seperti sawah atau kebun dapat mengambil manfaat dari sawah dan kebun itu, berdasaarkan sabda rasulullah :
ثنا أبو محمد بن صاعد نا محمد بن عوف نا عثمان بن سعيد بن كثير نا إسماعيل بن عياش عن بن أبي ذئب عن الزهري عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا يغلق الرهن لصاحبه غنمه وعليه غرمه
“ jaminan itu tidak menutupi yang punyanya dari manfaat barang ( yang digadaikan) itu, faedahnya kepunyaan dia (juga) wajib memikul beban ( pemeliharaan).” (HR. Syafi’I dan Darul-Quthni)[9].
Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-râhin. Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu).
Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama[10]. Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram. [Rasul bersabda : [HR al-Baihaqi]
كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا
Para jumhur-al-ulama’ berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan sesuatu dari barang gadai, dan kemudian ahmad dan ishaq berkata : apabila barang gadai tersebut berupa hewan maka bagi murtahin boleh memanfaatkannya sebesar makanan dan minuman yg diberikan kepada hewan itu. Mereka berkata demikian berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh abu hurairoh : “Ar-Rahnu markuubun wa mahluubun” [11].
عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : الرهن مركوب ومحلوب
F. Kapan Ar-Rahn (GADAI) Menjadi Keharusan?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah. Jadi pendapat pertama, perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.
Yang kedua adalah Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah[12].
G. Hukum-Hukum Setelah Serah Terima.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang.
1. Pemegang Barang Gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). [Al-Baqarah : 283]
Dan sabda beliau

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” [Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi]


2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi]
3. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya[13]
4. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nilai barang gadai dengan hutangnya dan ia wajib melunasinya[14].


DAFTAR PUSTAKA
Al Amaanah Al ‘Amah Lihai’at Kibar Al Ulama, Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, Cetakan pertama tahun 1422H


Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Dar- al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.


Hasan, M. ali, berbagai macam transaksi dalam islam, cetakan 1.jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2003.


Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir.
Ibnu rusyd, bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid , darul kutub, Beirut Lebanon.
Imron abu umar, fathul qorib jilid 1, menara kudus, 1983,
Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh
Samih ‘Athif az-Zain, Al-Mu'amalat, Darul kutub, Beirut, Lebanon, cetakan I, 1995


[1] Hasan, M. ali, berbagai macam transaksi dalam islam, cetakan 1.jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2003, 253.
[2] Ibid., 254.
[3] Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Dar al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006. 437.
[4] Ibnu rusyd, bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid , darul kutub, Beirut Lebanon. 660.

[5] Ibid.,
[6] Imron abu umar, fathul qorib jilid 1, menara kudus, 1983, 248.
[7] Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Dar- al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006. 437-438.

[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir. 444.
[9] Hasan, Berbagai Macam , 256.

[10] Samih ‘Athif az-Zain, Al-Mu'amalat, Darul kutub, Beirut, Lebanon, cetakan I, 1995, 285 dan 303-304.
[11] Rusyd, Bidayah , 663.
[12] Qudamah, Al-mugni, 446.
[13] Al Amaanah Al ‘Amah Lihai’at Kibar Al Ulama, Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, Cetakan pertama tahun 1422H, 134-135.
[14] Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, 115.a
READ MORE - Fiqh; Ar-Rahn (Gadai)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

VII PENDIDIKAN ISLAM MASA PENJAJAHAN, MASA KEBANGKITAN NASIONAL & MASA KEMERDEKAAN

Oleh: Dedy Irawan Maesycoery

PENDAHULUAN
Pada dasarnya manusia sesuai fitrahnya selalu cenderung hidup dalam persambungan sejarah yang tidak akan terputus, walaupun kelihatanya sejarah seakan-akan terpotong-potong antara yang satu dengan yang lainya.
Meneliti sejarah bangsa Indonesia tidak akan lepas dari umat islam, baik dari perjuangan melawan penjajah maupun dalam lapangana pendidikan. Melihat kenyataan betapa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam mencapai keberhasilan dengan berjuang secara tulus ikhlas mengabdikan diri untuk kepentingan agamanya disamping mengadakan perlawanan militer
Perlu diketahui bahwa sejarah pendidikan islam di Indonesia mencakup fakta-fakta atau kejadian –kejadian yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam di Indonesia, baik formal maupun non formal. Yang dikaji melalui pendekatan metode oleh sebab itu pada setiap disiplin ilmu jelas membutuhkan pendekatan metode yang bisa memberikan motivasi dan mengaktualisasikan serta memfungsikan semua kemampuan kejiwaan yang material, naluriah, dengan ditunjang kemampuan jasmaniah, sehingga benar-benar akan mendapatkan apa yang telah diharapkan.

A. PENDIDIKAN ISLAM MASA PENJAJAHAN
1. Masa Penjajahan Belanda
Penaklukan bangsa barat atas dunia timur dimulai dengan jalan perdagangan. Kemudian dengan kekuatan militer. Selama zaman penjajahan barat itu berjalanlah westernisasi indinesia. Kedatangan bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah dari westernisasi dari kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajah barat di Indonesia selama kurang lebih 3,5 abad. Ketika terjadi perang antara Rusia dengan Jepang pada tahun 1904-1905 M, raja Jerman mengirim pesan kepada Raja Rusia yang berbunyi:”melawan Jepang adalah panggilan suci untuk melindungi salib dan kebudayaanKristen Eropa”. Itulah gambaran dari motif keagamaan orang Barat terhadap Timur. di samping itu sebagai bangsa penjajah pada umumnya, mereka menganut pikiran Machiavelli yang menyatakan antara lain .
1) Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah.
2) Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat.
3) Setiap aliran agama yang di anggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus di bawa untuk memecah belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
4) Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan.
5) Tujuan dapat menghalalkan berbagai macam cara.
Pemerintah belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatullah Sayyidin Panotogomo. Pada zaman sultan islam ini, hitungan tahun Saka diasimilasikan dengan tahun hijrah dan berlaku di seluruh negara. Nama hari dan bulan di ambil dari Islam. Sedangkan hitungan tahunnyadi ambil dari Jawa. Hal itu menggambarkan adanya usaha mempertemukan unsur kebudayaan Islam dengan kebudayaan Pribumi dalam hal-hal yang tidak merusak akidah dan ibadah.
Setelah Belanda dapat mengatasi pemberontak-pemberontakan dari tokoh-tokoh politik dan agama yaitu pangeran Diponegoro,Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Pangeran Antasari Sultan Hasanuddin dan lain-lain, maka sejarah kolonialisme di Indonesia mengalami fase yang baru, yaitu Belanda secara politik sudah dapat menguasai Indonesia. Raja-raja di daerah masih ada, tetapi tidak dapat berkuasa penuh, baik di segi kewilahannya maupun di bidang ketatanegaraannya. Dengan demikian maka semua kekuasaan baik politik maupun ekonomi dan sosial budaya sudah berada di tangan penjajah. Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama, sesuai dengan prinsip-prinsip kolonialisme, westernisasi dan kritenisasi.
Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi , politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagai berikut:”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang, dan harus memperhatikan perbaikan agama kristen dengan mendirikan sekolah” .
Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu.dan di tiap daerah Keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
Gubernur Jendral Van Den Capellen pada tahun 1819 M, mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut:”dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara”.
Jiwa dari surat edaran di atas menggambarkan tujuan didirikannya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang ada di pondok pesantren, masjid, musholla, dsb di anggap tidak membantu pemerintah Belanda. Para santri pondok masih di anggap buta huruf latin. Pada salah satu point dalam angket yang ditujukan kepada bupati-bupati berbunyi sebagai berikut:
Apakah tujuan Bupati tidak sepaham dengan kami bahwa pendidikan yang berguna adalah sejenis pendidikan yang sesuai dengan rumah tangga desa.
Jadi jelas,bahwa madrasah pesantren dianggap tidak berguna. Dan tingkat sekolah pribumi adalah rendah sekali sehingga disebut sekolah desa, dan dimaksudkan untuk menandingi madrasah, pesantren atau pengajian yang ada di desa itu.
Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialismenya.
Pada tahun 1882 M, pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden . atas nasehat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M,pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran ( baca pengajian) harus minta izin lebih dahulu. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kemungkinan kebangkitan pribumi, karena terjadinya peperangan antara Jepang melawan Rusia yang dimenangkan oleh Jepang.
Pada tahun 1925 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan Agama Islam yaitu tidak semua orang (Kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammmadiyah, Partai Syarikat Islam,Al-Irsyad, Nahdhotul Watan dan lain-lain.
Pada tahun 1932 M, keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar(Wilde SchoolOrdonantie). Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan naisonalisme-islamisme pada tahun 1928 M, berupa sumpah pemuda. Selain daripada itu untuk lingkunngan kehidupan agama kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama di sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama. Yakni bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. Dan pemerintah melindungi tempat peribadatan agama ( Indische Regeling pasal 173-174).
Jika kita melihat peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketatnya dan keras mengenai pengawsan, tekanan dan pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan Islam akan menjadi lumpuh atau porak poranda. Akan tetapi apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit di bendung.
Jiwa islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama’ dan kyai bersikap nonkooperative dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang di bawa oleh Belanda yang berpegang kepada hadits nabi Muhammad SAW yang artinya;”Barang siapa yang menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan tersebut”.(riwayat abu dawud dan imam hibban). Mereka tetap berpegang kepada Alqur’an surat Al-Maidah ayat 51 yang artinya:” Hai orang-orang yang beriman, janganlh orang Yahudi dan Nasrani engkau angkat sebagai pemimpinmu”.

2. Masa Penjajahan Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang dunia II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan : Asia Timur Raya untuk Asia dan semboyan Asia Baru.
Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan perang dunia II.
Untuk mendekati umat Islam Indonesia mereka menempuh kebijaksanaan antara lain;
1) kantor urusan agama yang pada zaman Belanda disebut: kantoor voor islamistische saken yang di pimpim oleh orang-orang Orientalisten Belanda, diubah oleh Jepang menjadi Kantor Sumubi yang di pimpin oleh ulama’ Islam sendiri yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari jombang dan di daerah-daerah di bentuk Sumuka.
2) Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
3) Sekolah negeri di beri pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4) Di samping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini di pimpin oleh K.H. Zainul Arifin.
5) Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang di pimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan Bung Hatta.
6) Para ulama’ islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA). Tokoh-tokoh santri dan pemuda islam ikut dalam latihan kader militer itu,antara lain: Sudirman, Abd.Khaliq Hasyim, Iskandar Sulaiman, Yusuf Anis, Aruji Kartawinata,Kasman Singodimejo, Mulyadi Joyomartono, Wahid Wahab,sarbini Saiful Islam dan lain-lain. Tentara Pembela Tanah Air inilah yang menjadi inti dari TNI sekarang.
7) Umat islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang di sebut: Majelis Islam A’ala Indonesia(MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.
Maksud dari pemerintah Jepang adalah supaya kekuatan Umat Islam dan Nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang di pimpin oleh Jepang.
Perang dunia II menghebat dan tekanan pihak sekutu kepada Jepang makin berat. Beberapa tahun menjelang berakhirnya perang itu tampak semakin jelas betapa beratnya Jepang menghadapi musuh dari luar dan oposisi dari rakyat Indonesia sendiri. Dan dari segi militer dan sosial politik di Indonesia Jepang menampakkan diri sebagai penjajah yang sewenang-wenang dan lebih kasar daripada penjajah Belanda. Kekayaan bumi Indonesia di kumpulkan secara paksa untuk membiayai Perang Asia Timur Raya, sehingga rakyat menderita kelaparan dan hampir telanjang karena kekurangan pakaian. Di samping itu rakyat di kerahkan kerja keras(romusha) untuk kepentingan perang.
Jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat seperti Haihoo, Peta, Keibodan, Seinan dan lain sebagainya.sehingga penderitaan rakyat lahir dan batin makin tak tertahankan lagi. Maka timbullah pemberontakan-pemberontakan baik dari golongan peta di Blitar jawa timur dan lain-lain maupun oposisi dari para alim ulama’. Banyak Kyai yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.
Dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya di suruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti(Romusha),ect. Yang masih agak beruntung itu adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dlam pondok pesantren masih dapat berlanan dengan agak wajar.



B. Pendidikan Islam pada Masa Kebangkitan Nasional
Di tengah gempita peringatan satu abad Kebangkitan Nasional, mengemuka gugatan terhadap peran dan posisi Boedi Oetomo. Sebagian menilai, kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu sesungguhnya amat tidak patut diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen). Lebih jauh mereka menilai, dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam. Sarekat Islam (SI) yang lahir 3 tahun terlebih dahulu dari Boedi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, lebih tepat dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena itu, sejarah kebangkitan nasional yang selama ini mendasarkan pada peran Boedi Oetomo harus dipertanyakan kembali.
Sebuah tesis sejarah yang ditulis Savitri Scherer di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975 yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1985, menggambarkan bahwa Boedi Oetomo pada intinya merupakan gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non-birokrat yang bersifat lokal. Ini karena adanya disharmoni antara priyayi ningrat (priyayi birokrat) dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa.
Atas hal itu, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk menolong diri sendiri yang berada dalam posisi rendah dibandingkan dengan priyayi birokratis. “Kalau kita tidak menolong diri kita sendiri tidak akan ada orang lain yang menolong kita, dan tolonglah diri kalian sendiri,” demikian Gunawan Mangunkusumo tentang alasan mahasiswa STOVIA mendirikan Boedi Oetomo (Paul W van der veur, ed., Kenang-kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Sinar Harapan, 1984 hlm. 22).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa Boedi Oetomo merupakan organisai lokal, dan hanya berjuang untuk kelompok kecil, tidak berskala nasional, sehingga sulit untuk dianggap sebagai perintis kebangkitan nasional.
Sejalan dengan itu, dalam pasal 2 anggaran dasar Boedi Oetomo tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”. Jadi, jelas sekali bahwa tujuan Boedi Oetomo bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan (Rizki Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional”.
Atas hal demikian, banyak pengamat sejarah yang menolak peran Oetomo sebagai gerakan pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN mengungkapkan “…Boedi Oetomo adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya.”
Selanjutnya Firdaus AN mengungkapkan, perkumpulan Boedi Oetomo dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Boedi Oetomo pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.
Selain itu, Firdaus AN memaparkan bahwa dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.
Karena itu, lanjut Firdaus, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
Mengenai hubungan Boedi Oetomo dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata, “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Sebuah artikel di Suara Umum, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah Al-Lisan terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Bukan itu saja, di belakang kelompok Boedi Oetomo pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama Boedi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895. Sekretaris Boedi Oetomo (1916), Boedihardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boedihardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (Dr. Th. Stevens).
Berbeda dengan Boedi Oetomo, Sarekat Islam lebih menasional. Keanggotaan Sarekat Islam terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Sifat menasional Sarekat Islam juga tampak dari penyebarannya yang menyentuh hingga kepelosok-pelosok desa. Tahun 1916, tercatat 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan tak kurang dari 700.000 orang tercatat sebagai anggotanya. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Sebaliknya, Boedi Oetomo pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang.
Adanya faktor Islam inilah yang membuat Sarekat Islam lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat. Salah satu misi pembentukan Sarekat Islam, seperti dirumuskan oleh Tirtoadisuryo ialah, “Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang sekarang ini dianggap zaman kemajuan. Haruslah sekarang kita berhaluan: janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh karena itu, maka telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam.” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3JS, 1982. Hal 116).
Berdasarkan alasan tersebut, tampak adanya sikap kepeloporan perubahan dan perbaikan bagi seluruh warga negara yang lebih merakyat yang didorong atas keyakinan Islam. Cakupan kegiatan Sarekat Islam yang meliputi seluruh rakyat Indonesia juga tampak dalam tujuan organisasi tersebut yang termaktub dalam anggaran dasarnya.
Organisasi ini berkembang dengan cepat di daerah-daerah lain di Jawa, bahkan organisasi ini menyebar juga ke luar Jawa, seperti di Sumatera Selatan.
Jelas tampak adanya perbedaan mendasar antara Boedi Oetomo yang hanya berjuang untuk kelompok kecil priyayi di Jawa dengan Sarekat Islam yang berjuang untuk seluruh rakyat. Dengan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan, tampak pula bahwa SI sesungguhnya merupakan pelopor yang sebenarnya dari sebuah kebangkitan yang bersifat nasional.
Namun, ketika pertama kali dilakukan peringatan hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1948, peringatan itu mengambil momentum kelahiran Boedi Oetomo yang dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional sehingga peringatan Kebangkitan Nasional selalu jatuh pada tanggal 20 Mei. Ini jelas sekali merupakan suatu usaha menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, juga menghilangkan identitas Islam sebagai bagian terintegrasi dari bangsa Indonesia.

C. Pendidikan Islam pada Masa Kemerdekaan
Pendidikan Islam pada masa kemerdekaan dapat kita bagi menjadi beberapa periode:
1) Pendidikan islam pada masa orde Lama
2) Pendidikan islam pada masa orde baru
3) Pendidikan islam pada masa reformasi
D. Sejarah Pendidikan Islam Masa Orde Lama (Zaman Kemerdekaan)
Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa :
Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang tidak berurat akar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Kenyataan yang demikian timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama mereka terpuruk dibawah kekuasaan penjajah. Sebab pada zaman penjajahan Belanda, pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam terbuka secara sangat sempit. Dalam hal ini minimal ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu :
1. Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonial yang amat diskriminatif terhadap kaum muslimin.
2. Politik non kooperatif para ulama terhadap Belanda yang menfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya, adalah salah satu bentuk penyelewengan agama. Mereka berpegang kepada salah satu hadits Nabi Muhammad saw yang artinya : “Barangsiapa menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk ke dalam golongan itu”. Hadits tersebut melandasi sikap para ulama pada waktu itu.
Itulah di antara beberapa faktor yang menyebabkan mengapa kaum muslimin Indonesia amat kececer dalam sesi intetelektualitas ketimbang golongan lain.
Sementara itu bila membicarakan organisasi Islam dan kegiatannya dibidang pendidikan. Sudah tentu tidak bisa terlepas dari membicarakan bentuk, sistem dan cita-cita bangsa Indonesia yang baru merdeka. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan yang sekian lama, terutama melalui berbagai organisasi pergerakan, baik sosial, agama maupun politik, senantiasa mendapat dukungan dari pemerintah. Pemerintah sadar bahwa sesungguhnya kekuatan negara terletak pada kesatuan dan persatuan bagi organisasi dan golongan, yang kesemuanya merupakan modal dasar dan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam pembangunan.
Seirama dengan perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, maka sejarah kebijakan pendidikan di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Oleh karena itulah perjalanan sejarah pendidikan Islam sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1965 yang lebih dikenal dengan masa orde lama akan berbeda dengan tahun 1965 sampai sekarang yang lebih dikenal dengan orde baru.
Tindakan pertama yang diambil oleh pemerintah Indonesia, ia menyesuaikan pendidikan dengan tuntunan dan aspirasi rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi :
1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
2. Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Oleh sebab itu, pembatasan pemberian pendidikan disebabkan perbedaan agama, sosial, ekonomi dan golongan yang ada di masyarakat tidak dikenal lagi. Dengan demikian, setiap anak Indonesia dapat memilih kemana dia akan belajar, sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.

E. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Sejak ditumpasnya peristiwa G30 S/PKI pada tanggal 30 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang dinamakan Orde Baru.
Orde baru adalah :
1. Sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap Pancasila dari UUD 1945.
2. Memperjuangkan adanya masyarakat yang adil dan makmur, baik material dan spiritual melalui pembangunan.
3. Sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dengan demikian, orde baru bukan merupakan golongan tertentu, sebab orde baru bukan berupa penyelewengan fisik. Perubahan orde lama (sebelum 30 September 1965) ke orde baru berlangsung melalui kerja sama erat antara pihak ABRI atau tentara dan gerakan-gerakan pemuda yang disebut angkatan 1966. Para pemuda itu bergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dalam KAMI yang memegang peranan penting khususnya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang amat kuat serta mempunyai hubungan yang tidak resmi dan organisasi Islam lainnya. Pada tahun 1966, mahasiswa memulai melakukan demonstrasi memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan, harga yang meningkat dan korupsi yang merajalela. Protes itu berkembang dan berhulu protes terhadap Soekarno. Akhirnya pada tahun itu juga Soekarno didesak untuk menandatangani surat yang memerintahkan Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan guna keselamatan dan stabilitas negara serta pemerintah.
Dalam Pasal 4 TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 tersebut selanjutnya disebutkan tentang isi pendidikan, di mana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah :
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh sebuah rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
Menurut UU Nomor 2 tahun 1989 tersebut, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dari undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ini, mengusahakan :
1. Membentuk manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.
2. Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mengandung terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan idiologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dengan landasan demikian, sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara swasta, menyeluruh dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat, dan berlaku di seluruh wilayah negara, menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur. Jenjang dan jenis pendidikan, dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.

F. Sistem Pendidikan Pada masa Orde Lama dan Baru
Di tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah Indonesia tetap membina pendidikan agama. Pembinaan agama tersebut secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Maka sejak itulah terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu pihak Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum. Keadaan seperti ini sempat dipertentangkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama, terutama golongan komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan.
Pendidikan agama diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada bab XII Pasal 20, yaitu :
1. Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2. Cara penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri di atur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Dalam hubungan ini kementrian agama juga telah merencanakan rencana-rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai berikut :
1. Pesantren klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah.
2. Madrasah diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun.
3. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan dengan pengajaran agama juga diberikan pelajaran-pelajaran umum.
4. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu sekolah dasar negeri enam tahun, di mana perbandingan umum kira-kira 1:2.
5. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama 2 tahun, yang memberikan latihan ketrampilan sederhana.
6. Pendidikan teologi agama tertinggi. Pada tingkat universitas diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian / dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.

KESIMPULAN
Kedatangan bangsa barat telah membawa kemajuan teknologi bukan untuk memakmurkan bangsa yang dijajah begitu pula di bidang pendidikan, penjajah hanya mementinhkan kepentingan mereka dengan membayar upah yang murah.
Penjajah barat pada umumnya menganut pikiran Marchiavelli yang menyatakan diantara salah satunya agama sangat di perlukan bagi pemerintah penjajah dan juga di pakai untuk menjinakkandan menaklukan rakyat
. Pemerintah belanda mulai menjajah tahun 1619 M. Ketika Jon Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta yang di lawan oleh sultan Agung Mataram. Hal itu menggambarkan adanya usaha unsure kebudayaan islam dengan kebudayaan pribumi dalam hal-hal yang tidak merusak akidah dan ibadah. Sejak zaman VOC , kedatangan belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur di Jakarta 1831, mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja di anggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah.
Pada tahun 1882 M, pemerintah belanda membentuk satu badan khusu yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan islam, oleh sebab itu pada 1932 M keluar peraturan yang memberantas dan menatap madrasah dan sekolah yang tidak diizinkan atau memberikan ajaran yang tidak disukai oleh pemerintah belanda. Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme, melihat peraturan-peraturan belanda yang demikian ketatnya maka seolah-olah dalam yang tidak lama, pendidikan islam akan menjadi lumpuh atau porak poranda. Karena adanya para Ulama’ dan kiai yang bersikap nonkooperative dengan belanda maka jiwa islam tetap terpelihara dengan baik. Begitu juga pada masa penjajahan Jepang yang pada akhirnya Bahwa tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara manusiawi.

REFERENSI
Nizar,Samsul. 2008, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana Prenada Media Group
Zuhairi, 1994, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara.
Yatim,Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
www.google.com
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam islam. 1991. Jakarta: bulan bintang
Yunus, Mahmud. Sejarah pendidikan Islam di Indonesi. 1985. Jakarta: Hida Karaya Agung
Zuharini. Sejarah Pendidikan Islam. 1997. Jakarta: Bulan Bintang
READ MORE - VII PENDIDIKAN ISLAM MASA PENJAJAHAN, MASA KEBANGKITAN NASIONAL & MASA KEMERDEKAAN

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

VI PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Dedy Irawan Maesycoery

PENDAHULUAN
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M. (A.Mustofa,Abdullah,1999: 23). Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.(Taufik Abdullah:1983)
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia.
Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam, mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran tentang moral.(Musrifah,2005: 20).
Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh tidak lepas dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga. Aceh menjadi pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir berkuasa, dengan adanya sistem pendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada kelanjutannya menjadi sistem pendidikan formal.

PEMBAHASAN
A. Perkembangan Islam di Indonesia
a. Akselerasi perkembangan Islam pada umumnya .
Sejarah telah mencatat bahwa semua agama disiarkan dan dikembangkan oleh para pembawanya yang di sebut utusan Tuhan dan para pengikutnya. Pengembangan dan penyiaran agama Islam termasuk paling dinamis dan cepat dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Akselerasi dan dinamika penyebaran Islam disebabkan adanya faktor-faktor yang dimiliki oleh Islam pada periode permulaannya faktor-faktor itu antara lain adalah:
1. Faktor ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam baik di bidang aqidah,syariah dan akhlaqnya mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat, dapat diamalkan secara luwes dan ringan, selalu memberikan jalan keluar dari kesulitan.
2. Faktor tempat kelahiran Islam, yaitu jazirah Arabia. Jazirah Arab lokasinya sangat strategis, sehingga hubungan dengan dunia luar sangat mudah. Juga keadaan iklim yang panas dan kering. Serta daerah padang pasir dan gunung-gunung yang tandus memaksa kepada penduduknya untuk mencari kehidupan dengan cara berdagang.

b. Awal masuk dan perkembangnya Islam di Indonesia
Ada dua faktor utama yang manyebabkan Indonesia mudah dikenal oleh bangsa lain. Khususnya oleh bangsa-bangsa timur tengah.
1. Faktor letak geografisnya yang strategis.
2. Faktor kesuburan tanahnya yang menghasilkan bahan-bahan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika masuknya Islam ke Indonesia terjadi tidak terlalu jauh dari zaman kelahirannya. Ilmu sejarah memerlukan bukti otentik tentang permulaan masuknya Islam di Indonesia. namun, sampai sekarang masih mengalami kesulitan-kesulitan yang principal:
a. Buku-buku sejarah Indonesia banyak yang di tulis oleh orang-orang belanda pada zaman pemerintahan belanda menjajah Indonesia.
b. Buku-buku sejarah yang ada sering mengemukakan bukti berupa cerita rakyat yang hidup dan di percayai oleh orang banyak sejak dahulu sampai sekarang.
Beberapa pendapat tentang permulaan islam di Indonesia antara lain sebagai berikut :
Bahwa kedatangan Islam pertama di Indonesia tidak indentik dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Indonesia. Mengingat bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah para pedagang bukan misi tentara dan bukan pelarian politik, sehingga mereka tidak berambisi untuk mendirikan kerajaan. Jadi masa tenggang antara kedatangan orang Islam pertama di Indonesia dengan berdirinya kerajaan Islam pertama adalah sangat lama.
Ada beberapa teori tentang orang Islam yang pertama dating dan berdakwah Islam di Indonesia.
1. Mubaligh dari persi (Iran), pada pertengahan abad 12 M. Alasannya karena kerajaan Islam di Indonesia bernama pase(pasai) berasal dari persi. Di tambah dengan kenyataan bahwa orang Islam Indonesia sangat hormat terhadap keturunan sayid atau habib yaitu keturunan Hasan dan Husen putra Ali bin Abi Thalib.
2. Mubaligh dari India barat, tanah Gujarat. Alasannya,karena ada persamaan bentuk nisan dan gelar nama dari mubaligh yang oleh Belanda dianggap sebagai kuburan orang-orang Islam yang pertama di Indonesia.
Dua macam pendapat tersebut sekarang sudah di anggap lemah.
Seminar masuknya agama Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 menyimpulkan sebagai berikut:
1. Menurut sumber bukti yang terbaru , Islam pertama kali datang ke Indonesia abad ke 7 M atau 1 Hijriah dibawa oleh pedagang dan mubaligh dari negeri Arab.
2. Daerah pertama yang di masuki ialah pantai barat pulau Sumatra (daerah baros). Adapun kerajaan Islam yang pertama ialah di pase.
3. Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam bangsa Indonesia ikut aktif mengambil bagian yang berperan dan prosesnya berjalan secara damai.
4. Kedatangan Islam di Indonesia ikut mencerdaskan rakyat dan membina karakter bangsa . terbukti pada perlawanan rakyat terhadap penjajah
Jika orang Islam pertama di Indonesia itu di tetapkan abad 1 Hijriah maka mereka itu dalam pengalaman agama kelahiran al salaf al saleh (golongan angkatan pertama terdahulu yang saleh). Karena pada abad ke 1 hijriah belum di kenal adanya mazhab.
Dengan beberapa faktor penunjang keberhasilan seperti sikap ramah,sederhana, para mubaligh Islam berdakwah kepada rakyat awam dan kepada para penguasa sekaligus.proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama melalui bermacam-macam kontak misal: jual beli,perkawinan dan dakwah langsung baik secara individu maupun kolektif.

c. Pendidikan Islam pada masa permulaan di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah perkembangan Islam di Indonesia sendiri. Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa penyiaran agama Islam di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-7 M yaitu pada zaman khalifah Usman dan berkembang dengan berakhirnya parang salib yang menyebabkan kemunduran dunia Islam. Oleh karena itu tersiarnya agama Islam di Indonesia diwarnai oleh konflik-konflik yang kurang menguntungkan.
Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia. Pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh pedagang muslim, sambil berdagang mereka menyiarkan agama Islam kepada orang-orang di sekeliling mereka yaitu orang-orang yang membeli barang-barang dagangannya. Setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam.
Pendidikan dan pengajaran Islam secara informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik. Berangsur-angsur agama Islam tersiar di seluruh kepulauan Indonesia. Karena dengan cepatnya Islam menyebar di seluruh Indonesia dan karena mudahnya orang masuk Islam yaitu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat . maka banyak sekali orang tua yang tidak memiliki ilmu agama Islam yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka. Maka mereka menyuruh anak-anak mereka pergi ke langgar/surau untuk mengaji kepada sang guru ngaji atau guru agama. Bahkan di masyarakat yang kuat agamanya ada suatu tradisi yang mewajibkan anak-anak yang sudah berumur 7 tahun meninggalkan rumah dan tinggal di langgar/surau untuk mangaji pada guru agama.
Di pusat-pusat pendidikan seperti surau,langgar,masjid,bahkan serambi rumah sang guru murid-murid berkumpul baik yang besar atau kecil,duduk di lantai,mengaji. Waktu belajar mengajar biasanya diberikan di waktu petang sebab waktu siang anak-anak membantu orang tuanya dan sang guru juga berkerja mencari nafkah untuk keluarganya. Itulah sebabnya pelajaran agama dan latihan beragama mendapat dukungan dari orang tua.bahkan dari masyarakat kampung / desa itu.
Tempat-tempat pendidikan Islam seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam formal yang berbentuk madarasah atau sekolah yang berdasar keagamaan. Pondok pesantren tumbuh sebagai perwujudan dari strategi umat Islam untuk mempertahankan eksistensinya terhadap pengaruh penjajahan barat. Serta akibat surau/langgar yang tidak dapat lagi menampung jumlah anak-anak yang ingin mengaji.
Sistem pondok pesantren tumbuh dan berkembang dimana-mana dan ternyata mempunyai peranan penting dalam usaha mempertahankan eksistensinya dari serangan atau penindasan baik fisik maupun mental dan kaum penjajah.
Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan Islam menurut rencana yang teratur sebenarnya telah di mulai sejak tahun 1476 dengan berdirinya Bayangkara Islah di Bintara Demak yang ternyata merupakan organisasi pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Sistem pendidikan agama Islam mengalami perubahan sejalan dengan itu pemerintahan jajahan (belanda) mulai mengenalkan sIstem pendidikan formal yang lebih teratur.



d. Pendidikan Islam pada masa raja-raja Islam
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Aceh
Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam ialah daerah Aceh.(Taufik Abdullah, 1983: 4). Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
a. Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
b. Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera,adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai.
c. Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
d. Keterangan Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.(Taufik Abdullah, 1983: 5)
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab. (Musrifah, 2005: 10-11).Dan jalur yang digunakan adalah:
a. Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran .
b. Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara.
c. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu Keluarga muslim dan masyarakat muslim.
d. Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
e. Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
1. Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
2. Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 53)
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia (Hasbullah, 2001: 19-20), antara lain:
a. Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
b. Sedikit tugas dan kewajiban Islam
c. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
d. Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
e. Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum,dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab (Musrifah, 2005: 20-21), yaitu:
1. Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik.
3. Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
4. Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan.
5. Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.
6. Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas negeri ini.

B Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh.
1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). (Mustofa Abdullah, 1999: 54)
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. (Zuhairini,et.al, 2000: 135)
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d. Biaya pendidikan bersumber dari negara.(Zuhairini, et.al., 2000: 136)
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.(M.Ibrahim, et.al, 1991: 61)
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.

2. Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.(Hasbullah, 2001: 29)
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata _egara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 54)Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.

3. Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M).
Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.(M. Ibrahim, et.al., 1991: 75)
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
1. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
2. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
3. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
4. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
5. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
6. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
7. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
8. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
9. Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat. (M. Ibrahim, 1991: 76)
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim. (Hasbullah, 2001: 32)
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
1. Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
3. Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika. (M.Ibrahim,et.al., 1991: 88)
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkena dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.
Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat
studi Islam.Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.(M.Ibrahim,et.al., 1991: 89)

KESIMPULAN
Pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil) Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaeh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh sebagai pusat pengkajian Islam.

REFERENSI
Arifin, HM. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Drajat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Hasbullah.2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Ibrahim, M, et.al.1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta : CV. Tumaritis.
Mustofa.A, aly, Abdullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Sunanto, Musrifah.2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Zuhairini. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
READ MORE - VI PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

V SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA

Oleh: Dedy Irawan Maesycoery

PENDAHULUAN
Perkembangan pendidikan islam diIndonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern. Lembaga pendidikan islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya. Perkembamgan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensip. Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelolah pendidikan islam pada masa-masa berikutnya.

PEMBAHASAN
A. Kedatangan Islam Di Indonesia
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian , terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara cina dan india. Sementara itu , Pala dan Cengkeh yang berasal dari Maluku , dipasarkan di Jawa dan Sumatra untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan – pelabuhan penting di Sumatra dan jawa antara abad ke I dan ke VII M sering disinggahi pedagang asing seperti , Lamuri ( Aceh ) , Barus dan Palembang di Sumatra ,(sunda Kelapa dan gresik di Jawa ).
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak Abad ke- 7 M (Abad I H), ketika islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka jauh sebelum ditaklukan Portugis (1551), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melelui Malaka, hasil hutah dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat,yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka pada waktu itu. Dengan demikian, Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting.
Ada induksi bahwa kapal-kapal Cina pun mengikuti jalan tersebut sesudah abad-9 M, tetapi tidak lama kemudian kapal-kapal tersebut hanya sampai dipantai Barat India karena barang-barang yang diperlukan sudah dapat dibeli disini. Kapal-kapal Indonesia juga mengambil bagian dalam perjalanan niaga tersebut. Pada zaman Sriwijaya , pedagang-pedagang Nusantara mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai Timur Afrika.
Menurut J.C. van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab Di Barat Laut Sumatra yaitu di Barus, daerah penghasik kapur barus terkenal. Dari berita Cina bisa diketahui bahwa dimasa Dinasti Tang (abad ke 9-10) orang-orang Ta-Shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi Muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan islam dibawah Bani Umayyah di bagian Barat dan kerajaan cina zaman dinasti T”ang di Asia bagian timur serta kerajaan sriwijaya di Asia Tenggara. Akan tetapi menurut Taufik Abdullah , belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat – tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu beragama islam. Adanya koloni itu , diduga sejauh yang paling bias dipertanggungjawabkan , ialah para pedagang arab tersebut , hana berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.
Baru pada zaman – zaman berikutnya , penduduk kepulauan ini masuk islam , bermula dari penduduk pribumi di koloni – koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad ke – 13 M , masyarakat muslim sudah ada di samudera pasai , perlak , dan Palembang di Sumatera. Di jawa , makam Fatimah binti Maimun di Leran ( Gresik ) yang berangka tahun 475 H ( 1082 M ) , dan makam – makam islam di Tralaya yang berasal dari abad ke – 13 M merupakan bukti berkembangnya komunitas islam , termasuk Majapahit. Namun sumber sejarah yang shahih yang memberikan kesaksian sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan tentang berkembangnya masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasati dan historiografi tradisional maupun berita asing , baru terdapat ketika “ komunitas islam “ berubah menjadi pusat kekuasaan.
Sampai berdirinya kerajaan – kerajaan Islam itu , perkembangan agama islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Singgahnya pedagang – pedagang islam di pelabuhan – pelabuhan Nusantara. Sumbernya , di samping berita – berita asing , juga makam – makam islam , dan (3) Berdirinya kerajaan – kerajaan islam.

B. Periodisasi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia
Pendidikan islam pada dasarnya dilaksanakan dalam upaya mengetahui kehendak umat islam pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang dianggap sebagai Need of Life. Usaha yang dimiliki apabila kita teliti dan kita perhatikan merupakan upaya untuk melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an terutama yang tertuang pada surat al-‘Alaq 1-5, yang mana itu merupakan salah satu contoh dari operasionalisasi penyampaian dari pendidikan tersebut.
Harun Nassution, secara garis besar membagi sejarah islam menjadi tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Periode pembahasan tentang lintasan atau periode Sejarah Pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Periode pembinaan pendidikan Islam, yang berlangsung pada masa Nabi Muhammad.
2. Periode pada pertumbuhan pendidikan islam, yang berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umayyah.
3. Periode kejayaan Islam, yang berlangsung sejak permulaan daulah Bani Abbasiyyah sampai dengan jatuhnya kota Baghdad.
4. Tahap kemunduran pendidikan yang berlangsung sejak jatuhnya kota Baghdad sampai dengan jatuhnya Mesir oleh Napoleon Bonaparte disekitar abad ke-13 M.
5. Tahap pembaharuan pendidikan islam yang berlangsung sejak pendidikan Mesir oleh Napoleon diakhir abad ke-18 M sampai sekarang ini.
Sementara itu kegiatan pendidikan islam di Indonesia yang lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuknya dan berkembangnya islam di Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka melacak Sejarah Pendidikan Islam di Indonesiadengan periodesasinya baik bagi pemikiran, isi maupun pertumbuhan organisasi dan kelembagaannya serta pola kebijakan pemerintah pertumbuhan organisasi dan kelembagaannya serta, fase-fase penting yang dilalui, secara garis besar fase tersebut dapat dibagi menjadi :
1. Periode masuknya Islam ke Indonesia.
2. Periode pengembangan Kerajaan-kerajaan Islam.
3. Periode pengembangan Kerajaan-kerajaan Islam.
4. Periode penjajahan Belanda.
5. Periode penjajahan Jepang.
6. Periode Kemerdekaan I (Orde Lama)
7. Periode Kemerdekaan II (Orde Baru / Pembangunan)

C. Sejarah Dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Di Nusantara
1. Surau
Pembahsan tentang Surau sebagai lembaga pendidikan Islam di Minangkabau, hanya dipaparkan sekitar awal pertumbuhan suara sampai dengan lahirnya gerakan pembaruan di Minangkabau yang ditandai dengan berdirinya madrasah sebagai pendidikan alternatif.
Fungsi surau yang tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa kini, eksistensi surau di samping sebagai tempat sholat juga digunakan oleh Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan agama Islam, khususnnya tarekat (suluk).
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Alquran, di samping ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
a. Pengajaran Alquran, untuk mempelajari Alquran ada dua macam tingkatan
1) Pendidikan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Alquran dan membaca Alquran.
2) Pendidikan atas, yaitu pendidikan dengan membaca Alqur’an dengan lagu, Qosidah, barzanji, Tajwid, dan kitab Parukunan.
b. Pengajian kitab
Materi pendidikan pada zaman ini meliputi: Ilmu Shorof dan Nahwu, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir, dan ilmu lain-lainnya.
Metode pendidikan yang digunakan di Surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhya metode pendidikan Surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoretis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks.
2. Meunasah
Meunasah merupakan tingkat pendidikan islam terendah. Meunasa berasal dari Arab Madrasah. Meunasa merupakan satu bangunan yang terdapat disetiap gampong (kampung, desa).
Diantara fungsi Meunasah antara lain :
a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara Agama, musyawarah, dan menerima tamu.
b. Sebagai lembaga pendidikan islam dimana diajarkan pelajaran membaca alqur’an.
3. Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan Pe dan akhiran An yang menujukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para Santri. Disisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaanya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara unifornitas karena setiap pesantren memiliki keunikan masing-masing, dintara karakteristik pesantren itu dari segi ;
a. Materi pelajaran dan metode pengajaran
b. Jenjang pendidikan
c. Fungsi pesantren
d. Kehidupan Kiai dan Santri
4. Madrasah
Sejarah dan perkembangan Madrasah akan dibagi dalam dua periode yaitu:
a. Periode sebelum kemerdekaan
Madrasah sebagai lembag pendidikan islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalm ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat islam.
Latar belakang pertumbuhan madrasah di indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu .
1. Gerakan pembaharuan islam di indonesia
Gerakan pembaharuan islam di indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan karel A Steenbrik.
2. Respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Pertama kali bangsa Belanda datang kenusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam nysantara yang sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang tadi beruba untuk menguasai wilayah nusantara dan menanamkan pengaruh dinusantara sekaligus dengan mengembangkan fahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu Glory (kemenagan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekuasaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya salibisasi terhadap umat islam di Indonesia).
b. Periode sesudah kemerdekaan
Setelah kemerdekaan indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah departemen agama yang akan mengurus keberagamaan di Indonesia termasuk didalamnya pendidikan, khususnya Madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada dibawah naungan Departemen Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan. Kebijakan yang dikeluarkan SKB3 menteri tanggal 24 Maret 1975 membawa pengaruh yang sangat besar bagi Madrasah, karna pertama, Ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan kesekolah umum yang setingkat lebih tinggi, ketiga, siswa madrasah dapat pindah kesekolah umum yang setingkat.

D. Mengkritisi Sistem Pendidikan Islam Masa Kerajaan Islam
Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan ini, karena dalam sejarah tidak pernah terjadi sebuah Kerajaan Islam di Aceh menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang terkenal kemegahan dan kebesarannya itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan ”Kronika Pasai”, bahwa Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gajah Mada yang telah menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka akan terungkap sebuah sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh para penjajah dan antek-anteknya untuk mengecilkan peran Kerajaan-Kerajaan Islam diAceh dalam proses Islamisasi di Nusantara.
Fakta yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Aceh telah berhasil menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan mengungkap dari mana asal sebenarnya ”Puteri Champa” yang menjadi istri Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Hindu Majapahit, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama yang mengakhiri riwayat Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa.
Banyak ahli sejarah Islam Nusantara yang masih bingung dengan keberadaan Kerajaan ”Champa”, negeri asal ”Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu” yang dianggap memiliki peran penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap awal, terutama antara kurun abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan keberadaan ”Champa”, ada dua teori yang beredar. Pertama teori yang didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kamboja-Vietnam sekarang. Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo yang berperan dalam proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara dengan mengenyampingkan sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar Aceh dalam Islamisasi Nusantara.
Tentu karena mereka beranggapan bahwa Champa Kamboja-Vietnam adalah wilayah Muslim dan pusat Islam yang jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah di Aceh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan menjadi rujukan para cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh.
Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik Ibrahim dan asal saudara iparnya ”Putri Champa Penakluk Majapahit”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Aceh maupun Kamboja.
Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?
Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara. Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.
Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Popularitas Jeumpa (Aceh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Persi-India dan Melayu, yang di Aceh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Aceh yang masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya di sekitar Bireuen.
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Champa”) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.
Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula.
Mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kamboja dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa ”Champa” yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.
Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.
Maka ditempuhlah jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Rupanya para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.
Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi. Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak, Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.
Seorang menteri pendidikan mestilah seorang budayawan seperti Muhammad Yamin, yang memahami perkara budaya nasional Indonesia sejak 6000 tahun yang lalu ketika merah putih sudah dikenal dan digunakan sebagai lambang negara, seorang negarawan seperti Soekarno yang tidak menggadaikan jiwanya kepada bangsa-bangsa asing, seorang pemberani seperti Mochtar Lubis yang berani mengkritisi diri. Menteri yang diangkat dari, oleh, atau pun atas saran partai adalah penghinaan terhadap pendidikan. Dan membuktikan ketidak seriusan kita dalam hal ini.
Yang kedua adalah dengan meningkatkan mata pelajaran yang dapat memperkuat keberadaan kebudayaan bangsa seperti sejarah, kesenian dan muatan lokal lain yang sesuai. Mari kita bahas terlebih dahulu hubungan pendidikan sejarah bangsa dengan kebudayaan. Nilai-nilai budaya akan tumbuh lewat pemahaman, kesadaran, dan kearifan budaya lokal. Sayang sekali, saat ini anak-anak Indonesia. Hanya menghafal tahun dana peristiwa. Tidak pernah mempelajari sejarah untuk memperoleh semangat darinya. Baik pemerintah maupun para guru di sekolah, tidak ada yang berani mengungkapkan bahwa Dinasti Sriwijaya dan Dinasti Majapahit bukanlah Dinasti Bhuddis atau Hindu, tetapi Dinasti Nusantara.
Ketika timur tengah masih tinggal di dalam kemah, masih mengembara, dan barat masih belum beradab, leluhur kita sudah berdagang dan berjualan rempah-rempah ke Afrika dengan menggunakan kapal sendiri. Adakah diantara kita yang mengapresiasi simetrisnya bangunan Borobudur, Prambanan, dan tak kalah juga Menara Kudus. Presisinya yang luar biasa. Jelas, leluhur kita tidak menggunakan komputer pada saat itu. Adakah keberanian di dalam diri kita untuk menghormati bangunan-bangunan tersebut sebagaimana kita menghormati bangunan-bangunan di Kudus, Demak, Pati, dan Jepara yang relativ lebih muda?
Tugas utama pendidikan sejarah perjuangan bangsa bukan untuk mengembangkan nilai-nilai budaya. Melainkan untuk menanamkan dan menyosialisasikan jiwa, semangat, dan nilai-nilai 1945, yaitu nilai-nilai yang telah memungkinkan keberhasilan para pendahulu kita dalam menegakkan, mempertahankan, membela, dan mengisi kemerdekaan. Sehingga akan timbul rasa cinta dan rasa memiliki bangsa pada jiwa peserta didik. Ketika peserta didik memiliki rasa cinta dan memiliki tersebut, maka rasa cinta terhadap kebudayaan bangsanya pun akan timbul sehingga mereka pun akan tergerak untuk mempelajari dan menjagaya. Nilai-nilai yang dapat ditumbuhkan melalui proses pendidikan sejarah perjuangan bangsa antara lain adalah:
1. Mengutamakan kepentingan umum dan bangsa diatas kepentingan pribadi.
2. Semangat rela berkorban dan mengabdi kepada Negara bangsa.
3. Sikap pantang menyerah dalam membela kepentingan bangsa dan Negara RI
4. Sikap persatuan dan kesatuan bangsa.
5. Sikap patriotik dalam mempertahankan dan memajukan bangsa.
6. Sikap membangun untuk kepentingan bersama.
7. Sikap bekerjasama untuk membangun bangsa.
8. Bersikap adil, berjiwa merdeka dan cinta perdamaian.
9. Jujur terhadap sesama dan diri sendiri, dan nilai-nilai luhur lainnya.
10. Tahan uji, ulet, dan tahan menderita dalam membela dan membangun bangsa.

A. KESIMPULAN
Pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. (1 H.).Agama islam baru di anut oleh penduduk Indonesia pada abad ke-13 M. hal ini terbukti dengan ditemukannya makam Fathimah binti Maimun di Leran Manyar Gresik.
Sejarah islam menurut Harun Nasution dibagi menjadi tiga periode yaitu, klasik, pertengahan dan modern. Lembaga-lembaga pendidikan pada awal masuknya Islam antara lain: Surau, Meunasa, Pesantren dan Madrasah.
Terdapat kerajaan-kerajaan Islam pada waktu itu, salah satunya adalah kerajaan Pasai yang menjadi pusat Islamisasi Nusantara. Tugas utama seorang pendidik adalah menanamkan dan mensosialisasikan jiwa, semangat dan nilai-nilai UUD 1945.

REFERENSI
Nizar, Syamsul, 2007. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Metia Group.
Badriyatin, 2006. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Gravindo Persada.
Rahman, Faizur, 1985. Islam dan Modernitas, Bandung: Pustaka.
Morgan, W. Kenneth, 1986. Islam Jalan Lurus, Jakarta: Pustaka jaya.
Nata, Abuddin, 1999. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Gravindo Persada.
Nasution, Harun, 1974. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang.
READ MORE - V SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

SURABAYA

2009

TRISMA'S 2008

TRISMA'S 2008
Soeve Yoed, Ibnoe Mz

Pengikut

Ibnoe Maesycoery13. Diberdayakan oleh Blogger.