Guru Bangsa

Pendidikan Islam
RSS

Total Tayangan Halaman

SEJARAH KEMUNCULAN ILMU KALAM


Oleh; Dedy Irawan Maesycoery

Pada masa Nabi SAW, dan para Khulafaurrasyidin, umat islam bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Awal mula adanya perselisihan di picu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang yahudi) pada pemerintahan khalifah Utsman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali. Dan awal mula adanya gejala timbulnya aliran-aliran adalah sejak kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah ke-3 setelah wafatnya Rasulullah).
Pada masa itu di latar belakangi oleh kepentingan kelompok, yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, pada masa itu perpecahan di tubuh umat islam terus berlanjut. Umat islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang menamakan dirinya kelompok syi’ah, dan yang kontra yang menamakan dirinya kelompok Khawarij.[1]
Akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah perang jamal yaitu perang antara Ali dengan Aisyah dan perang Siffin yaitu perang antara Ali dengan mu’awiyah. Bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran di kalangan umat islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah, akhirnya jumlah aliran di kalangan umat islam menjadi banyak, seperti aliran syi’ah, khawarij, murji’ah, jabariyah, mu’tazilah dll.



Ilmu kalam timbul aliran-aliran dan macam macamnya.
Mengkaji dan mempelajari aliran-aliran ilmu kalam adalah merupakan upaya memahami kerangka berfikir yang ada pada manusia dan proses pengambilan solusi atau pemecahan masalah atas permasalahan-permasalahan tentang kalam.
Dan ilmu kalam timbul karena adanya sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat yang mana dititik beratkan pada aspek subjek pembuatan keputusan. Perbedaan yang terjadi dalam Islam pada umumnya dilatar belakangi oleh hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur perbuatan keputusan,dan disamping itu ada tiga permasalahan yang mejadi objek perbedaan pendapat, yaitu Pertama, perbedaan keyakinan (aqa’id), Kedua, persoalan syariah, dan Ketiga, persoalan politik Maka kita dapat menarik benang merah sebuah kesimpulan dari perbedaan tersebut secara garis besar dapat di bagi menjadi dua bagian, yaitu metode berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Dan disamping itu adanya perbedaan kerangka berfikir dalam diri manusia untuk merespon dan mencari solusi persoalan-persoalan kalam :
1. Aliran Antroposentris
Aliran antroposentris adalah aliran yang menganggap bahwa realitas trasenden bersifat kosmos dan impersonal, mereka berpandangan antroposentris sebagai seorang sufi adalah suatu mistis dan strategis. Dan yang tergolong dari aliran ini menganggap negative pada dunia ini, karena dia berkeyakinan bahwa keselamatan mereka adalah atas kemampuannya membuang keburukan yang terdapat dalam dirinya dan membuang semua hasrat serta keinginannya. Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qodariyah, .Mu’tazilah dan Syi;ah.
2. Aliran Teosentris
Aliran teosentris menganggap daya yang terdapat pada manusia adalah dari Tuhan, jadi Tuhan ikut campur tangan atas perbuatan manusia, perbuatan baik atau jahat pun mereka sepakat dari Tuhan, manusia bisa berbuat baik dan jahat adalah merupakan daya dari Tuhan. Maka perbuatan itu dapat datang sewaktu-waktu pada diri manusia. Aliran teologi yang tergolong dalam katagori ini adalah Jabariyah.
3. Aliran Konvergensi atau Sintesis
Aliran Konvergensi menganggap hakekat realita yang bersifat supra, personal dan impersonal. Aliran ini menandang bahwamanusia adalah tajjali atau cermin asma dan sifat-sifat realita mutlak.3 Maka dari pada itu eksistensi kosmos adalah merupakan sebagai pencipta ada dasarnya dan mempunyai sifat-sifat yang azali. Aliran ini berpendapat bahwa secara suptansial mempunyai nilai-nilai batini, dan eternal (qadim) karena merupakan gambaran haq yang sebenarnya. Dan setiap apa saja dapat dihancurkan dan dimusnahkan melainkan ada kehendak Tuhan yang mutlak, karena ciptaan-Nya adalah bersifat relative (sifat ketergantungan) dan profon.
Menurut aliran ini pula manusia mempunyai keterkaitan antara Tuhan karena semua daya yang dimiliki oleh manusia tersebut merupakan dari Tuhan yaitu dalam daya kebijaksanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk masalah teknis. Kebahagian bagi Aliran Konvergensi terletak pada kekonsistenannya pada jalur kebenaran yang telah digariskan oleh Tuhan yaitu dengan tidak melenceng dari jalur kiri ataupun dari jalur kanan. Maka dapat disimpulkan bahwa Tuhan dan Mahkluk-Nya adalah merupakan satu bagian yang tekdapat terpisahkan antra keduanya yaitu tentang dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat-Nya. Aliran yang tengolong dari aliran ini adalah Asy’ariyah.
4. Aliran Nihilis
Aliran nihilis ini menganggap bahwa hakekat terasendental adalah merupakan ilusi belaka atau anggan-anggan saja yang terdapat pada pikiran manusia. Mereka menggap Tuhan tidak mempunyai sifat yang mutlak, tetapi merupakan sebagai variasi Tuhan kosmos. Kekuatan, daya adalah terletak pada kecedikan yang terdapat pada manusia merupakan dari manusia itu sendiri sehingga dapat menolak dari perbuatan yang buruk, yaitu sebagai upaya control diri. Dan mereka pula menganggap manusia mendapatkan kebahagiaan dari segi fisik saja tidak yang lain.[2]

Faktor-faktor Timbulnya Aliran Kalam Dalam Islam
Faktor yang menyebabkan timbulnya aliran kalam dalam islam dapat di kelompokan menjadi 2 bagian yaitu:
1. Faktor Internal
Yaitu faktor yang muncul dari dalam umat islam sendiri yang dikarenakan:
a. Adanya pemahaman dalam islam yang berbeda
Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yang mengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.
b. Adanya pemahaman ayat Al-Qur’an yang berbeda.
Para pemimpin aliran pada waktu itu dalam mengambil dalil Al-Qur’an beristinbat menurut pemahaman masing-masing
c. Adanya penyerapan tentang hadis yang berbeda.
Penyerapan hadist berbeda, ketika para sahabat menerima berita dari para perawinya dari aspek “matan” ada yang disebut hadist riwayah (asli dari Rasul) dan diroyah (redaksinya disusun oleh para sahabat), ada pula yang di pengaruhi oleh hadist (isra’iliyah), yaitu: hadist yang disusun oleh orang-orang yahudi dalam rangka mengacaukan islam.
d. Adanya kepentingan kelompok atau golongan.
Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas, dimana syiah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya.
e. Mengedepankan akal.
Dalam hal ini, akal di gunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.
f. Adanya kepentingan politik
Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman Ustman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan.
g. Adanya beda dalam kebudayaan
Orang islam masih mewarisi yang di lakukan oleh bangsa quraish di masa jahiliyah. Seperti menghalalkan kawin kontrak yang hal itu sebenarnya sudah di larang sejak zaman Rasulullah. Kemudian muncul lagi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib oleh aliran Syi’ah.
2. Faktor Eksternal
Faktor ini muncul dari luar umat islam, yaitu :
a. Akibat adanya pengaruh dari luar islam.
Pengaruh ini terjadi ketika munculnya aliran syi’ah yang muncul karena propaganda seseorang yahudi yang mengaku islam, yaitu Abdullah bin Saba.
b. Akibat terjemahan filsafat yunani
Buku-buku karya filosofi yunani di samping banyak membawa manfaat juga ada sisi negatifnya bila di tangan kalangan yang tidak punya pondasi yang kuat tentang akidah dan syariat islam. Sehingga terdapat keinginan oleh umat islam untuk membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi islam.[3]

DAFTAR PUSTAKA

1.      Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta, UI Pres, 2002
2.      Razak, Abdul, “Ilmu Kalam” ,(Pustaka setia: 2003 ), Bandung, cet-1
3.      Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta, Pustaka Al-Riyadl, 2006.
4.      Abdullah Mu’in, M. Thalib. Aliran Islam Pada Masa Khalifah, Yogyakarta, Widjaya, 1978.


[1] Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta, UI Pres, 2002.

[2] Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta, Pustaka Al-Riyadl, 2006.

[3] Razak, Abdul, “Ilmu Kalam” ,(Pustaka setia: 2003 ), Bandung, cet-1

READ MORE - SEJARAH KEMUNCULAN ILMU KALAM

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PEMIKIRAN ISLAM MENURUT SYI'AH


PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana.
Selama ini, mayoritas orang selalu menganggap Syiah bagian dari Islam. Mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia sendiri menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan membingungkan. Ini disebabkan beberapa hal mendasar yaitu kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah, di kalangan mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari hal-hal tersebut, akhirnya orang Islam yang umum meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya.
Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.


1.2.            Tujuan
1.      Agar Mengetahui Dan Memahami Pengertian,Sejarah, Tokoh,Ajaran Dan Sekte-sekte Syi’ah
2.      Untuk Memperkaya Wawasan Kita Sebagai Seorang muslim.
3.      Sebagai bahan untuk menguji dan mengukur kemampuan siswa
4.      Sebagai bahan referensi untuk mahasiswa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan

1.3.            Rumusan masalah
1.      Apa pengertian Syi’ah ?
2.      Bagaimana Sejarah syi’ah ?
3.      Siapa Saja Tokoh-tokoh Dalam Syi’ah ?
4.      Apa saja Ajaran-ajaran dalam Syi’ah ?
5.      Bagaimana Sekte-sekte dalam Syi’ah ?

PEMBAHASAN

2.1.      Pengertian Syi’ah
           
a.                   Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).” [1]
b.                  Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad—pen.) masih hidup. [2]
c.                   Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan ‘Ali bin
Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya.[3]
d.                  Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung pengertian syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.[4]
e.                   Kata Syi’ah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syi’ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik[[5]
f.                      Secara lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah saww (shallallâhu ‘alayhi wa âlihi wa sallampen.) yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.[6]
         Dari Berbagai Pengertian diatas dapat dipetik kesimpulan bahwa:  
   Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw.


2.2       Sejarah Syi’ah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.[7]
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi.[8]Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. [9]
Namun demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi pula kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.[10]

2.3.            Tokoh-tokoh Syi’ah
 Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah. [11]
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.[12]
Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:

a.       Nashr bin Muhazim
b.      Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
c.       Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
d.      Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
e.       Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
f.        Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
g.       Ali bin Babawaeh al-Qomi
h.       Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
i.         Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
j.        Muhammad bin Hamam al-Iskafi
k.      Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
l.         Ibn Qawlawaeh al-Qomi[13]
m.     Ayatullah Ruhullah Khomeini
n.       Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
o.      Sayyid Husseyn Fadhlullah
p.      Murtadha Muthahhari
q.      ‘Ali Syari’ati
r.        Jalaluddin Rakhmat[14]
s.       Hasan Abu Ammar [15]


2.4.            Ajaran-ajaran Syi’ah
A.                Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada 3 bentuk pengertian Ahlulbait.
1.  Mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim.        2.  Hanya Bani Hasyim.
3.  Terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer.[16]
B.                 Al-Badâ’. Dari segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.[17]
C.                Asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.[18]
D.                Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi.[19]Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan,[20] Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash.[21]
E.                 ‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa.[22] Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.[23]]
F.                 Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.[24]
G.                Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.[25]
H.                Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.[26]Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr[27] mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali [28]
I.          Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.[[29] Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah. [30]
J.         Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.[31]
K.                Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)[32]





2.5.            Sekte-sekte Syi;ah
Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah golongan Isma’iliyah.[33]
Selain itu terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat (Syi’ah sesat), dan Isma’iliyah.[34] Sedangkan al-Asy’ari membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok[35]
Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu Sekte Imamiyah (yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah.[36]
Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai berikut:
A.    Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
B.     Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.
C.     Zaidiyah: Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.[37]


PENUTUP

Demikian telah dipaparkan perihal “PEMIKIRAN ISLAM MENURUT SYI’AH” dengan berbagai seluk beluknya dan diharapkan para pembaca dapat memahami dan mengerti isi makalah ini dengan sepenuhnya.
Tanpa bantuan dan dukungan dari pihak-pihak lain makalah ini sulit untuk diselesaikan,penyusun memahami banyak kekurangan dalam penyusunan makalah atau tata bahasa yang kurang gramatikal,diharapkan pembaca dapat memaklumi untuk memaklumi.
Untuk pembuatan makalah selanjutnya penyusun akan berusaha untuk menyempurkannya,penyusun juga mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk lebih menambah pengetahuan penyusun tentang syi’ah.



3.1.         Kesimpulan
                        Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa   :
o   Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw.
o   Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni.
o   Dalam Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.


3.1.                                                Saran-saran
                        Demikian uraian singkat mengenai ruang lingkup dan kajian Syi’ah,mudah-mudahan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi kami sebagai pelengkap kepustakaan.kami berharap adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan penyusunan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, cet. ke-3.  
Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani, t.t.
Al-Hafni, Abdul Mun’im. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006, cet. ke-1.
Al-Nemr, Abdul Mun’eim. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah. T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988.
Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in. Bandung: Mizan Pustaka, 2004, cet. ke-1.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet. ke-4.
Karya, Soekama, dkk. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996, cet. ke-1.
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.



1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, h. 5.
2 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 904.
3 Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), cet. ke-3, h. 343.




4 Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet. ke-1, h. 125.
5 Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.



7 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h.5.
8 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11. Penjelasan lebih lengkap tentang perang Shiffin dan tahkîm, lihat Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet. ke-1, h. 155-185.
9 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), h. 17-21; http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm





10 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5.
11 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13-15.
12Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 15.



14 Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Selengkapnya lihat http://www.ijabi.org/ijabi.html; http://www.ijabi.org/pimpinan.html
15 Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni. 



16 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 10.
17 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 10-11
18 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11. Pembahasan mengenai asyura dan tabut selengkapnya lihat Azyumardi Azra (Kata Pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar, ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000), cet. ke-1, h. 20-21.
19 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11.
20 Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad  (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), cet. ke-2, h. 65.

21 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11


22 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11.
23 Syari’ati, Islam…, h. 62.
24 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 11-12.




[25] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12.
[26] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12.
[27] Beliau adalah mantan Menteri Wakaf dan al-Azhar, Mesir.
[28] Al-Nemr, Sejarah…, h. 146.
[29] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 12-13. Lihat juga Syari’ati, Islam…, h. 67.






30 Al-Nemr, Sejarah…, h. 146. Lihat juga Syirazi, Inilah…, h. 105-107.
31 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13.
32]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13.



33 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 6.
34 Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), cet. ke-1, h. 572.
35 Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 572.
36 Sou’yb, Pertumbuhan…, h. 13-196.




37 Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 575-576.


READ MORE - PEMIKIRAN ISLAM MENURUT SYI'AH

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

SURABAYA

2009

TRISMA'S 2008

TRISMA'S 2008
Soeve Yoed, Ibnoe Mz

Pengikut

Ibnoe Maesycoery13. Diberdayakan oleh Blogger.