Guru Bangsa

Pendidikan Islam
RSS

Total Tayangan Halaman

III KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh ; Dedy Irawan Maesycoery

PENDAHULUAN
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.
Dalam konteks tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan teknologi yang dicapai bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi ini, telah merupakan akses produk suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa kemajuan yang dicapai dunia pendidikan selalu di bawah kemajuan yang dicapai dunia industri yang memakai produk lembaga pendidikan.
Proyeksi keberadaan dan kenyataan pendidikan, khususnya pendidikan Islam, tentu tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraannya pada masa lampau juga. Pendidikan [Islam] pada periode awal [masa Nabi saw] misalnya, tampak bahwa usaha pewarisan nilai-nilai diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar terbebas dari belenggu aqidah sesat yang dianut oleh sekolompok masyarakat elite Quraisy yang banyak dimaksudkan sebagai sarana pertahanan mental untuk mencapai status quo, yang melestarikan kekuasaan dan menindas orang-orang dari kelompok lain yang dipandang rendah derajatnya atau menentang kemauan kekuasaan mereka.
Gagasan-gagasan baru yang kemudian dibawa dalam proses pendidikan Nabi, yaitu dengan menginternalisasi nilai-nilai keimanan baik secara individual maupun kolektif, bermaksud menghapus segala keperyaan jahiliyah yang telah ada pada saat itu. Dalam batas yang sangat meyakinkan, pendidikan Nabi dinilai sangat berhasil dan dengan pengorbanan yang besar, jahiliyahisme masa itu secara berangsur-angsur dapat dibersihkan dari jiwa mereka, dan kemudian menjadikan tauhid sebagai landasan moral dalam kehidupan manusia.
Proses pendidikan yang dilakukan Nabi, yang aksentuasinya sangat tertuju pada penanaman nilai aqidah [ketauhidan], keberhasilan yang dicapainya memang sangat ditunjang oleh metode yang digunakannya. Pada proses pendidikan awal itu, Nabi lebih banyak menggunakan metode pendekatan personal-individual. Dalam meraih perluasan dan kemajuaannya, baru kemudian diarahkan pada metode pendekatan keluarga, yang pada gilirannya meluas ke arah pendekatan masyarakat [kolektif].
Pengembangan pendidikan Islam yang telah ada itu, yang pada awalnya lebih tertuju pada pemberdayaan aqidah, diupayakan Nabi dengan menempatkan pendidikan sebagai aspek yang sangat penting, yang tercermin dalam usaha Nabi dengan menggalakkan umat melalui wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya. Masjid-masjid, pada periode awal itu, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu dan pendidikan, sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an, belajar hadis, dan sirah Nabi. Disiplin-disiplin lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan atas dasar kesadaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan anaknya.

PEMBAHASAN
A. MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM
1. Latar Belakang Sosial Politik Kejayaan Pendidikan Islam
Pada era abad ke-20 ini, pendekatan pendidikan Islam berlangsung melalui
proses operasional menuju pada tujuan yang diinginkan, memerlukan model yang
konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spritual dan intelektual yang
melendasinya, sebagaimana yang pertama kali dibangun Nabi. Nilai-nilai tersebut dapat diaktualisasikan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan manusia yang dipadukan dengan pengaruh lingkungan cultural yang ada, sehingga dapat mencapai cita-cita dan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia disegala aspek kehidupannya. Tetapi apa yang terjadi, kondisi pendidikan Islam pada era abad ke-20, mendapat sorotan yang tajam yang kurang menggembirakan dan dinilai menyandang “keterbelakangan” dan julukan-julukan yang lain, yang semuanya bermuara pada kelemahan yang dialaminya. Kelemahan pendidikan Islam dilihat justru terjadi pada sektor utama, yaitu pada konsep, sistem, dan kurikulum, yang dianggap mulai kurang relevan dengan kemajuan peradaban umat manusia dewasa ini atau tidak mampu menyertakan disiplin-disiplin ilmu lain yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kenyataannya yang ada ini, memasukkan pendidikan Islam dalam klasifikasi yang belum dapat dikatakan telah berjalan dan memberikan hasil secara memuaskan. Hal ini mempunyai pengertian belum mampu menjawab arus perkembangan zaman yang sangat deras, seperti timbulnya aspirasi dan idealitas yang serba multi interes dan berdemensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang amat beragam, serta perkembangan teknologi yang amat pesat [Hifni Muchtar].
Melihat kenyataan ini, maka tak ayal lagi bahwa pendidikan Islam perlu mendapat perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman.
Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk, karena:
Pertama, pendidikan Islam subsistem pendidikan nasional di Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman posetif. Kedua, pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi pembenahan sistem pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan, masalah, dan kelemahannya. Ketiga, system pendidikan Islam yang dapat dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.
Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi mudaya, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.
Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam konstelasi system pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam mesupakan sub-sistem pendidikan nasional. Tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobat” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin.

Pola Pendidikan Islam Pada Periode Rasulullah
A. Fase mekkah
Allah maha bijaksana sebagai calon panutan umat manusia, Muhammad ibnu Abdullah sejak”awal sekali” disiapkan oleh Allah swt dengan menjaganya dari sikap-sikap jahiliah. Denga ahlaknya yang terpujisyarat denga nilai-nilai humanisme dan spiritualisme ditengah-tengah umat yang hamper saja tidak berperikemanusiaan Muhammad bin Abdullah masih sempat mendapat gelar penghargaan tinggi, yaitu al-amin.

a) Tahap Pendidikan Islam Secara Rahasia Dan Perorangan
Pada awal turunnya wahyu pertama (the first revalation) al-quran surat al-alaq ayat 1-5, pola pendidikan yang dilakukan adalah secara sembunyi-sembunyi mengingat kondisi social politik yang belum setbil, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga dekatnya. Mula-mula Rosulullah mendidik istrinya (Khodijah) untuk beriman dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian diikuti oleh anak angkatnya (Ali bin Abi Tholib) dan Zaed bin Ibnu Haritsah (seorang pembantu rumah tangganya yang kemudian dijadikan anak angkat), kemudian sahabat karibnya (Abu Bakar Asyidiq).secara berangsur-angsur ajakan tersebut disampaikan secara meluas, tetapi masih terbatas dikalangan keluarga dekat dari suku Quraysyi saja, seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Saad bin Abi Waqos, Abdurrohman bin Auf, Tolhah ibnu Ubaidillah, Abu Ubaidillah ibnu Jarrah, Arqom ibnu Arqom, Fatimah binti Khotob, Said bin Zaid dan beberapa orang lainnya. Tahap awal ini disebut assabikunal awwalun. Sebagai lembaga pendidikan dan pusat kegiatan pendidikan islam yang pertama pada era awal ini adalah rumah Arqom ibnu Arqom.


b) Tahap Pendidikan Islam Secara Terang-Terangan
Pendidikan secara sembunyi-sembunyi berlangsung selama 3 tahun samapai turun wahyu berikutnya yang memerintahkan dakwah secara terbuka dan terang-terangan. Ketika wahyu tersebut turun beliau mengundang kelurga dekatnya untuk berkumpul dibukit sofa, menyerukan agar berhati-hati terhadap adzab yang keras dikemudian hari (kiamat) bagi orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai tuhan yang maha esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Seruan tersebut dijawab Abu Lahab “celakalah kamu Muhammad..! Untuk inikah kamu mengumpulkan kami-kami..?” saat itu turun wahyu perihal Abu Lahab dan istrinya.

c) Tahap pendidikan islam untuk umum
Hasil seruan dakwah secara terang-terangan yang terfokus kepada keluarga dekat tidak meksimal sesuai yang diharapkan. Maka Rosulullah merubah cara dakwahnya dari seruan yang fokus kepada keluarga dekat baralih kepada seruan umum umat manusia secara keseluruhan. Seruan dalam sekala international tersebut didasarkan kepada perintah Allah al hijr 94-95 sebagai tindak lanjut dari perintah tersebut, pada musim haji Rosulullah mendatangi kemah-kemah para jemaah haji. Pada awalnya tidak banyak yang menerima kecuali sekelompok jamaah haji dari Yasrib, kabilah Khazraj yang menerima dakwah secara antusias. Dari sinilah sinar islam memancar keluar makkah.
Penerimaan masyarakat yatsrib terhadap ajaran Islam secara antusias tersebut dikarenaka beberapa faktof
1) adanya kabar dari kaum yahudi akan lahirnya seorang Rasul
2) suku Aus dan khazraj mendapat tekanan dan ancaman dari kelompok yahudi
3) konflik antara khazraj dan Aus yang berkelanjutan dalam rentang waktu yang sudah lama.
Berikutnya dimusim haji kedua belas kerasulan Muhammad Saw, rasulallah di datangi 12 laki-laki dan seorang wanita untuk berikrar kesetiaan, yang dikenal dengan bai’ah al-aqobah 1. mereka berjanji tidak akan mentembah keoad selain Allah swt, tidak akan mencuri dan berzina, tudak akan membunuh anak-anak dan menjauhkan perbuatan keji dan fitnah.
Berkat semangat tinggi yang dimiliki para sahabat dalam mendakwakan ajaran Islam, seluruh penduduk yatsrib semuanya masuk islam kecuali orang-orang yahud. Musim haji berikutnya 73 orang jama’ah haji dari yatsrib mendatangi rasulallah Saw. Dan menetapkan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya ditempat yang sama dengan pelaksanan bai’ah al-aqabah 1 tahun lalu, yang dikenal dengan bai’ah al-aqabah 11, dan mereka sepakat akan menyongsong rasulallah ke yatsrib.

a. Materi pendidikan Islam
1. Materi pendidikan tauhid yang lebih difokuskan untuk memurnikan ajaraan tauhid yang dibawa nabi ibrahim a.s, yang telah diselewengkan oleh kaum jahiliyah secara teori inti sari ajaran tauhid berada di surat Al-fatiha: 1-7 dan surat al-ikhlas: 1-5.
2. Materi pengajaran Al-quran. Materi ini dapat dirinci kepada materi baca tilis al-quran(imla’ dan iqra’) dan materi menghafal ayat-ayat al-quran.

b. Metode pendidikan Islam
(1) Metode ceramah. Menyampaikan wahyu yang diterimaya.
(2) Metode dialog.
(3) Diskusi atau Tanya jawab.
(4) Metodeperumpamaan;
(5) Metode kisah;
(6) Metode pembiasaan;
(7) Metode hafalan.
Semua itu diselenggarakan dalam sebuah lembaga, menurut suatu keterangan lembaga yang dipakai Rasulallah antara lain adalah: (a) Rumah arqam ibnu arqam. (b) kuttab. Pendidikan di kuttab tidak sama dengan dirumah Arqam. Pendidikan dirumah arqam kadang-kadang berupa materi tentang hukum Islam dan dasar-dasa agama Islam. Sedangkan di kuttab, pada awalnya ebi fikus terhadap materi baca tulis sastra, sya’ir arab dan berhitung.

A. Fase Madinah
Kedatangan Nabi Muhammad saw bersama kaum muslimin Mekkah, disambut oleh penduduk madinah dengan gembira dan penuh dengan rasa persaudaraan, maka Islam mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman para penguasa Quraisyi Makkah, lingkungan yang dakwahnya menyampaikan ajaran agama islam dan menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wahyu secara beruntun selama preode Madinah. Kebijakan Nabi Muhammad dalam mengajarkan al-Quran adalah menganjurkan pengikutnya untuk menghafal dan menuliskan ayat-ayat al-quran sebagaimana diajarkannya. Beliau sering mengadakan ulangan-ulangan dalam pembacaan A-quran dalam shalat dan pidato-pidato, dalam pelajaran-pelajaran dan lembaga-lembaga.

a) Lembaga pendidian Islam di Madinah
Masjid sebagai pusat keiatan Nabi Muhammad saw bersama kaum Muslimin untuk bersama-sama membina masyarakat baru. Suatu kebijaksanaan yang sangat efektif dalam pembinaan dan pengemangan masyarakat baru di madinah adalah disyariatkannya media komunikasi berdasarkan Wahyu, yaitu shalat jum’at yang dilaksanakan secara berjemaah dan adzan.

b) Materi pendidikan Islam di Madinah
(1) Pendidikan ukhuah (persaudaraan) antara kaum muslimin. Dalam melaksanakan pendidikan uukhuah ini, Nabi Muhammad saw bertitik tolak dari struktur kekeluargaan yang ada pada masa itu.
(2) Pendidikan kesejahteraan social. Terjaminnya kesejahteraan social, tergantung pertama-tama pada terpenuhinya kebutuhan pokok dari pada kehidupan sehari-hari.
(3) Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat. Yang dimaksud keluarga adalah: suami, istri dan anak-anaknya.
(4) Pendidikan hankam (pertahanan dan keamanan) dakwah Islam. Masyarakat kaum muslimin merupakan satu state(negara) dibawah pinpinan Nabi Muhammad saw yang mempunyai kedaukatan .

2. Berdirinya Madrasah-madrasah
A. Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
1. Pengertian Madrasah
Madrasah (Arab: مدرسة, madrasah مدارس, madāris) adalah kata Arab (dari asal Semit; yaitu Ibrani Midrash) untuk setiap jenis lembaga pendidikan, baik sekuler atau agama (semua agama). Ini adalah berbagai ditransliterasikan sebagai madrasah, madarasaa, medresa, madrasah, madraza, madarsa, medrese dll.
a. Madrasah Amah (Arab: مدرسة عامة) diterjemahkan sebagai "sekolah umum".
b. Madrasah khāṣah (Arab: مدرسة خاصة) diterjemahkan sebagai "sekolah swasta".
c. Madrasah dīniyyah (Arab: مدرسة دينية) diterjemahkan sebagai "sekolah agama".
d. Madrasah Al-Islamiyyah (bahasa Arab: مدرسة إسلامية) diterjemahkan sebagai "Islam sekolah".
e. Jami’ah (Arab: مدرسة جامعة) diterjemahkan sebagai "universitas".
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.



2. Latar Belakang Timbulnya Madrasah
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.
Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran. Itulah sebabnya sebahagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.
Berdasarkan dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa penggunaan istilah madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam maupun sebagai aliran atau mazhab bukanlah sejak awal perkembangan Islam, tetapi muncul setelah Islam berkembang luas dan telah menerima pengaruh dari luar sehingga terjadilah perkembangan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai macam aliran dan mazhabnya.
Pada awal perkembangan Islam, terdapat dua jenis lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu kuttab yang mengajarkan cara menulis dan membaca al-Qur’an, serta dasar-dasar pokok ajaran Islam kepada anak-anak yang merupakan pendidikan tingkat dasar. Sedangkan masjid dijadikan sebagai tingkat pendidikan lanjutan pada masa itu yang hanya diikuti oleh orang-orang dewasa. Dari masjid-masjid ini, lahirlah ulama-ulama besar yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam, dan dari sini pulalah timbulnya aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam berbagai ilmu pengetahuan, yang waktu itu dikenal dengan istilah madrasah. Kegiatan para ulama dalam mengembangkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Islam maju dengan pesatnya, bahkan dari satu periode ke periode berikutnya semakin meningkat.
Untuk menampung kegiatan khalaqah yang semakin banyak, sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajaran dan bidang ilmu pengetahuan yang diajarkan, maka dibangunlah ruangan-ruangan khusus untuk kegiatan khalaqah atau pengajian tersebut di sekitar masjid. Di samping dibangun pula asrama khusus untuk guru dan pelajar, sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar setiap hari secara teratur, yang disebut dengan zawiyah atau madrasah yang pada mulanya hanya dibangun di sekitar masjid, tetapi pada perkembangan selanjutnya banyak dibangun secara sendiri.
Pada hakikatnya timbulnya madrasah-madrasah di dunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan kegiatan proses belajar mengajar dalam upaya untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat dan bertambah setiap tahun ajaran.
Sementara itu, madrasah boleh dikatakan sebagai fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20. Namun dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih belum punya keseragaman antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, terutama sekali menyangkut kurikulum dan rencana pelajaran. Usaha ke arah penyatuan dan penyeragaman sistem tersebut, baru dirintis sekitar tahun 1950 setelah Indonesia merdeka. Dan pada perkembangannya madrasah terbagi dalam jenjang-jenjang pendidikan; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.

B. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Di Madrasah
Sistem pengajaran yang digunakan di madrasah adalah perpaduan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern. Penilaian untuk kenaikan tingkat ditentukan dengan penguasaan terhadap sejumlah bidang pengajaran.tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya sistem pondok mulai ditinggal, dan berdirilah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian pada tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah, di mana mata pelajaran hanya agama dengan penggunaan kitab-kitab bahasa arab.
Sebagai pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagai halnya buku-buku pengetahuan umum yang belaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dalam bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama, dan adapula Kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang disebut normal Islam.
Pada tahap selanjutnya penyesuaian tersebut semakin meningkat dan terpadu dengan baik sehingga sukar untuk dipisahkan dan dibedakan antara keduanya, kecuali madrasah yang langsung ditulis predikat Islamiyah. Kurikulum madrasah atau sekolah-sekolah agama, mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan persentase yang berbeda. Pada waktu pemerintahan RI dalam hal ini oleh Kementerian Agama mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan madrasah. Melalui Kementerian Agama, madrasah perlu menentukan kriteria madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada di dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, paling sedikit enam jam seminggu.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sistem pendidikan dan pengajaran di madrasah merupakan perpaduan antara sistem yang berlaku di pondok pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern.

C. Pembinaan dan Pengembangan Madrasah
Sejak timbulnya madrasah dan menjadikannya sebagai lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bimbingan dan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah RI. UUD 1945 mengamanatkan, agar mengusahakan terbentuknya suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional yang diatur undang-undang.
Untuk melaksanakan amanat tersebut, BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa itu, merumuskan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran yang terdiri dari 10 pasal. Pada pasal 5 (b) sebagaimana dikutip oleh Hasbullah, menetapkan bahwa “madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya juga mendapat perhatian dan bantuan materil dari pemerintah.
Dalam hal ini wewenang pembinaan dan pemberian bantuan dan tuntunan tersebut diserahkan kepada Kementerian Agama. Tujuan pembinaan dan bantuan adalah agar madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berkembang secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional, sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Usaha integrasi tersebut ternyata tidak berjalan mudah. Sikap mandiri dan sikap non-kompromi dengan pemerintah pada masa sebelumnya, masih tetap berakar dalam masyarakat. Oleh karena itu pembinaan dan pengembangan madrasah tersebut dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan dan dilaksanakan secara bertahap.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan madrasah sesuai dengan sasaran BPKNIP agar madrasah dapat bantuan materil dan bimbingan dari pemerintah, maka kementerian agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama No. I tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan madrasah ialah “tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya”.
Dengan persyaratan tersebut, maka diadakanlah pendaftaran madrasah-madrasah yang memenuhi syarat. Pada tahun 1954 tampak madrasah yang memenuhi persyaratan untuk seluruh Indonesia berjumlah 13.849 buah sebagaimana dikemukakan dalam tabel di bawah ini.

Tingkat Madrasah Jumlah Madrasah Jumlah Murid
Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Aliyah 13.057
776
16 1.927.777
87.932
1.881
Jumlah 13.849 2.017.590

Dalam upaya pemerintah untuk menyediakan guru-guru agama untuk sekolah dan guru-guru umum serta lembaga pendidikan lainnya pada tahun 1951 Kementerian Agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHAI) di beberapa tempat. Berdirinya kedua jenis sekolah guru tersebut banyak manfaatnya bagi perkembangan dan pembinaan madrasah, karena kedua jenis sekolah guru ini, memberikan kesempatan bagi para alumni madrasah dengan persyaratan tertentu untuk memasukinya. Hal tersebut telah mendorong penyelenggaraan madrasah untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah. Pada alumni kedua jenis sekolah guru agama tersebut, diperbantukan pada madrasah-madrasah guna mempercepat proses pembinaan dan perkembangannya, menuju kepada pengintegrasian ke dalam sistem pendidikan nasional.
Kedua jenis sekolah guru itu, kemudian namanya diubah menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama). PGA menyediakan calon guru agama untuk sekolah dasar dan madrasah tingkat Ibtidaiyah, sedangkan SGHA menyediakan calon-calon guru agama untuk tingkat sekolah menengah baik sekolah agama maupun sekolah umum, dan hakim pada Pengadilan Agama. Pada tahun 1957 SGHA disebut sebagai PGA dan untuk keperluan tenaga pendidikan hakim agama didirikan PHIN (Pendidikan Hakim Negeri). Pada masa itu banyak madrasah tingkat Tsanawiyah dan Aliyah berubah menjadi PGA. Dengan demikian, di samping PGA pertama (4 tahun), 9 buah PGA atas (2 tahun) dan 1 buah PHIN (3 tahun).
Upaya pembinaan madrasah, menuju kesatuan sistem pendidikan nasional, semakin ditingkatkan. Usaha tersebut tidak hanya merupakan tugas dan wewenang Departemen Agama saja, tetapi merupakan tugas dan wewenang pemerintah secara keseluruhan bersama masyarakat.
Pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Hal ini dilatar belakangi bahwa siswa-siswa madrasah sebagaimana halnya tiap-tiap warga negara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah, yang menghendaki melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Dalam rangka merealisasikan SKB 3 menteri tersebut, maka pada tahun 1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa pembinaan dan pengembangan madrasah tetap dilaksanakan semenjak munculnya istilah madrasah sampai lahirnya SKB 3 Menteri, di mana madrasah dipersamakan dengan sekolah umum, yang dalam hal ini adalah sekolah negeri umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sederajat. Dan demikian jelasnya bahwa pemerintah tetap memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia.

MASA KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDIN
1. Masa khalifah Abu bakar al-syidiq (632-634 M).
Masa awal khalifah abu baker diguncang pemberontak oleh orang-orang murtad, orang yang mengaku sebagai Nabi dan orang-orang yang enggan membayar Zakat. Berdasarkan hal ini abu baker memutuskan perhatiannya untum memerangi para pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan memengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari ajaran Islam. Dalam menumpas ini banya umat Islam yang gugur, yang terdiri dari sahabat dekat Rasulallah dan para hafiz al-quran, sehingga mengurangi jumlah sahabat yang hafiz al-quran. Oleh karena itu sahabat Umar bin khattab menyarankan khalifah untuk mengumpulkan ayat-ayat al-quran, kemudian untuk merealisasikan hal itu, diutuslah Zaid bin tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan al-quran. Pola pendidikan pada masa Abu bakar masih seperti masa Nabi, baik dari segi materi maupun lembaga pendidikannya.
Dari segi materi, pendidikan Islam terdiri dari beberapa macam.
1. Pendidikan keimanan, yaitu menanamkan bahwa satu-satunya yang wajib disembah adalah Allah.
2. Pendidikan akhlak, seperti adab masuk rumah orang, sopan santun bertetangga, dan lain sebagainya.
3. Kesehatan, seperti tentang kebersihan, gerak gerik dalam shalat merupakan didikan untuk memeperkuat jasmani dan rahani.

2. Masa Umar bin Khattab (13-23 H: 634-644 M)
Pada masa khalifah Umar bi Khatab, kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilaya Islam memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah Islam pada masa Umar meliputi semenanjung Arabia, Plestina, Syiria, Irak, Persia dan Mesir.
Pada masa itu, sahabat-sahabat yang sangat berpengaruh tidak diperbolehkan untuk keluar daerah kecuali atas izin khalifah dan dalam waktu yang terbatas.jadi, kalau ada Umat Islam yang ingin belajar hadits harus pergi kemadinah, ini berarti bahwa penyebaran ilmu dan pengetahuan para sahabatdan dan tempat pendidikan terpusat di Madinah.
Khalifah Umar merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota madinah. Adapun metode yang mereka pakaai adalah guru duduk di halaman Masjid, sedangkan Murid di belakangnya.meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan islam bertambah besar, karena mereka yang baru menganu Agama Islam ingin menima Ilmu keagamaan dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Rasulallah.
Mata pelajaran yang diberikan adalah membaca dan menulis al-quran dan menghafalnya serta belajar pokok-pokok agama Islam. Pendidikan dimasa Umar ini lebih maju dari pada khalifah sebelumnya.

3. Masa kahlifah Utsman bin Affan (23-35 H: 644-656 M).
Pada masa Utsman, pelaksanaan pendidikan islam tida jauh berbeda dengan masa sebelumya, hanya melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit ada perubahan yang mewarnai pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dkat dengan Rasulallah yang tidak diperbolehkan meninggalkan madinah dimasa Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka skai. Kebijakan ii sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah.
Peruses pendidikan di masa Utsman ini lebih ringan dan lebih mudah dijangkau oleh peserta didik dan dari segi pusat pendidikan juga lebih banyak, sebab para sahabat bisa memilih tempat yang mereka inginkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Banyak sekali perkembangan pendidiksan, kalau dibandingkan denga asa Umar, sebab pada masa Utsman urusan pendidkan diserahkan saja pada rakyat. Dan apabila diliha dari segi kindisi pemerintaha utsman banyak timbil pergolakan dalam msyarakat sebagai akibat ketidak senangan senangan mereka tehadap kebijakan Utsman yang mengangkat kerabatnya dalam pemerintahan.
4. Masa halifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H: 656-661 M)
Pada pemerintahannya sudah diguncang peperangan dengan Aisyah(Istri Nabi) beserta Talhah dan Abdullah bin Zubair karena kesalahpahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap Utsman, peperangan diantara mereka disebut perang Jamal (Unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan Unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain, sehinnga masa kekuasaan Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Muawiyah sebagai gubernur Damaskus memberontak untuk melengserkan kekuasaannya, peperangan ini disebit perang shiffin, karena terjadi di shiffin. Ketika tentara Muawiyah terdesak oleh pasukan Ali, maka Muawayah segera mengambil siasat untukmenyatakan Tahkim, semula Ali menolak, tetapi karena desakan sebagian tentaranya akhirnya Ali menyetujuinya, namun tahkim malah menimbulkan kekacauan, sebab Muawiyah bersifat curang, ingga ia berhasil mengalakan Ali dan mendirikn pemerintahan tandingan di Damaskus. Sementara sebagian tentara yang menentang keputusan Ali dengan cara Tahkim, meninggalkan Ali dengan membuat kelompok tersendiri yaitu Khawarij.

3. Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
Era globalisasi dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya penyatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan lain sebagainya, yang terjadi di antara satu negara dengan negara lainnya, tanpa menghilangkan identitas negara masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat kemajuan teknologi informasi (TI) yang dapat menghubungkan atau mengomunikasikan setiap isu yang ada pada suatu negara dengan negara lain.
Bagi umat Islam, era globalisasi dalam arti menjalin hubungan, tukar-menukar dan transmisi ilmu pengetahuan, budaya, dan sebagainya sesungguhnya bukanlah hal baru. Globalisasi dalam arti yang demikian, bagi umat Islam merupakan hal biasa. Pada zaman klasik (abad ke-6 s.d. 13 M) umat Islam telah membangun hubungan dan komunikasi yang intens serta efektif dengan berbagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia, seperti India, Cina, Persia, Romawi, dan Yunani. Hasil dari komunikasi ini umat Islam telah mencapai kejayaan, bukan hanya dalam bidang ilmu agama Islam, melainkan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan, dan peradaban, yang warisannya masih dapat dijumpai hingga saat ini, seperti di India, Spanyol, Persia, serta Turki.
Selanjutnya, pada zaman pertengahan (abad ke-13 hingga 18 M), umat Islam telah membangun hubungan dengan Eropa dan Barat. Saat itu, umat Islam memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa penulis Barat, misalnya WC Smith dan Thomas W Arnold, mengakui bahwa kemajuan yang dicapai dunia Eropa dan Barat saat ini karena sumbangan dari kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi ilmu pengetahuan dan perabadan Islam tanpa harus menjadi orang Islam.
Pada zaman pertengahan itu, umat Islam hanya mementingkan ilmu agama saja. Sementara itu, ilmu pengetahuan, seperti matematika, astronomi, sosiologi, dan kedokteran tidak dipentingkan. Bahkan, dibiarkan untuk diambil oleh Eropa dan Barat. Pada zaman ini, Eropa dan Barat mulai bangkit mencapai kemajuan, sementara umat Islam berada dalam keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Pada zaman modern (abad ke-19 sampai dengan sekarang), hubungan Islam dengan dunia Eropa dan Barat terjadi lagi. Di zaman ini timbul kesadaran dari umat Islam untuk membangun kembali kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban melalui berbagai lembaga pendidikan, pengkajian, dan penelitian. Umat Islam mulai mempelajari kembali berbagai kemajuan yang dicapai oleh Eropa dan Barat, dengan alasan bahwa apa yang dipelajari dari Eropa dan Barat itu sesungguhnya mengambil kembali apa yang dahulu dimiliki umat Islam.
Namun demikian, hubungan Islam dengan Eropa dan Barat, sekarang keadaannya sudah jauh berbeda dengan hubungan Islam pada zaman klasik dan pertengahan sebagaimana tersebut di atas. Di zaman klasik dan pertengahan, umat Islam dalam keadaan maju atau hampir menurun, sedangkan keadaan Eropa dan Barat dalam keadaan terbelakang atau mulai bangkit.
Keadaan Eropa dan Barat saat ini berada dalam kemajuan, sedangkan keadaan umat Islam berada dalam ketertinggalan. Tidak hanya itu, keadaan dunia saat ini telah dipenuhi oleh berbagai paham ideologi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam, seperti ideologi kapitalisme, materialisme, naturalisme, pragmatisme, liberalisme bahkan ateisme yang secara keseluruhan hanya berpusat pada kemauan manusia (anthropocentris ). Hal ini berbeda dengan karakteristik keseimbangan ajaran Islam yang memadukan antara berpusat pada manusia ( anthropocentris ) dan berpusat pada Tuhan ( theocentris ).

4. Pendidikan Wanita
Sudah merupakan kewajiban bagi tiap Muslim baik itu pria maupun wanita untuk mendapatkan pengetahuan. Untuk itu diantara keduanya tidak ada perbedaan sama sekali dalam memperoleh pendidikan dan pengetahuan. Dan berikut pentingnya mencari ilmu pengetahuan bagi pria dan wanita seperti yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Dalam Nur al-Albab, dia menyatakan bahwa para ulama yang menentang pendidikan bagi kaum wanita adalah para munafik dan “iblis-iblis bersama mereka”. Dia bertanya:”Bagaimana mereka dapat meninggalkan istri-istrinya, putri-putrinya dan para pembantunya dalam kebodohan yang gelap dan kesalahan disaat mereka mengajari murid-muridnya siang dan malam! Ini tidak lebih hanya sebuah sifat egois mereka, karena mereka mengajar murid-muridnya untuk pamer dan unjuk kebanggaan, Ini sungguh sebuah kesalahan besar.”

a) Pentingnya belajar dan mencari ilmu dalam Islam
Seperti yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam surat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ketika itu malaikat Jibril membawa wahyu dan meminta Nabi Muhammad SAW membacanya. Allah SWT berfirman:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” - (Al-Alaq : ayat 1-5).

b) Doa para Nabi dan orang-orang shaleh banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an.
Allah memerintahkan kepada umatnya di dalam Al-Qur'an untuk berdoa: “...Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Surat Thaahaa : ayat 114).
Doa ini merupakan doa yang cukup populer bagi umat Nabi Muhammad SAW selama berabad-abad dan bahkan anak-anak kecil dari keluarga Muslim sudah menghafalkan dan membaca doa ini.

c) Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna.
Hal ini dikarenakan Allah SWT memberikan akal pikiran serta pengetahuan kepada manusi. Hikmah atau ilmu adalah harta yang sangat berharga dan kekayaan yang tiada habisnya.
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) (Al-Baqarah : ayat 269).
Nabi Muhammad saw berkata,”Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (Diriwayatkan dalam Al-Bayhaqi dan Ibn-Majah, dikutip oleh M.S. Afifi, Al-Mar’ah Wa Huququha Fil-Islam (dalam bahasa Arab), Maktabat Al-Nahdhah, Kairo, Mesir, 1988, h. 71.)

Kata dari “Muslim” adalah inklusif bagi pria dan wanita.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qur’an, 9:71)
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain….(Qur’an, 3:195)
Adalah kewajiban bagi wanita untuk memperoleh pendidikan ilmu agama seperti shalat, puasa, zakat, haji, sebagaimana kewajiban untuk berdagang dan bertransaksi. Jika suaminya tidak mampu untuk memberikan padanya ilmu tersebut, maka wanita tersebut menurut Islam wajib untuk mencarinya. Shaikh Usman dan Fodio, seorang guru terkenal dari Nigeria mengatakan dalam Irshad al-Ikhwan,”Jika sisuami tidak mengizinkannya, maka si istri dibolehkan keluar mencari ilmu tanpa seizinnya, dan tidak ada kesalahan baginya dan pula tidak dosa baginya karena itu. Peraturan ini seharusnya mendorong para suami agar mendukung istrinya dalam mencari ilmu, sewajib bagi suami untuk menafkahi keluarganya, sesungguhnya ilmu adalah utama (dan wajib dipelihara dan diamalkan)”.
Lebih lanjut dalam buku yang sama dia mengatakan,”Oh kaum muslim! Jangan dengarkan mereka yang tersesat dan menyesatkan; yang berusaha untuk menipu kalian untuk mentaati suamimu, tanpa terlebih dahulu memintamu untuk mematuhi Allah SWT dan Rasulnya. Mereka berkata bahwa kebahagian wanita tergantung kepatuhannya kepada suami; mereka berkata begitu hanya ingin memuaskan egonya dan keinginannya kepada kalian. Mereka memaksakan kalian untuk melakukan hal yang Allah dan Rasulnya tidak pernah mewajibkanmu, seperti memaska, nyuci baju, dan hal-hal serupa.
Dalam kitab al-Irshad. Saykh Dan Fodia juga mengatakan bahwa kaum wanita wajib menuntut hak-hak mereka untuk memperoleh pendidikan. Wanita seperti pria, diciptakan dengan satu maksud, yaitu untuk menyembah Allah, yang hal itu mustahil tercapai tanpa ilmu yang benar. “Sudahkah kaum wanita menuntut hak-hak kepada suami mereka dalam urusan agama dan membawa kasusnya kepengadilan, dan menuntut agar suaminya mendidiknya dalam urusan agama dan memberikan izin kepada para istri keluar untuk belajar, ini seharusnya merupakan kewajiban bagi penegak hukum untuk memaksa para suami untuk meluluskan hal-hal tersebut sebagaimana kewajiban para suami untuk memberi nafkah dan hak-hak dunia lainnya, karena hak-hak keagamaan adalah paling utama dan dilebihkan.”
Beliau juga memberi pertanyaan dalam kitab al-Irshad: Menurut hukum, wanita harus mencari ilmu yang tidak didapatinya dari suami mereka; haruskah para ulama yang tidak dapat mengatur posisi duduk yang aman dimajlis taklimnya yang murid-muridny terdapat pria dan wanita kaluar ketempat terbuka dan mengajari Islam, karena mengetahui bahwa kaum wanita wajib hukum untuk belajar? Dia berkata,”Dia harus kelur, namun tetap dia harus mencegah campurny pria dan wanita, jika hal tersebut terjadi didepan kehadirannya, maka ia harus memisahkan pria disatu sisi dan wanita disisi yang lainnya.”
Maka wanita muslim mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan dari suaminya dan jika (karena tidak semua para suami adalah seorang ahli agama, dan tidak selalu tahu), diizinkan keluar untuk mencari ilmu! Dan ini diakui oleh hampir semua ulama terkemuka.
Ulama Muslim masa awal Mazhab Fiqh Maliki dalam buku Ibn al-Hajj menulis: Jika seorang wanita menuntut haknya untuk belajar ilmu agama kepada suaminya dan membawa kasus tersebut kepada hakim, tuntutannya dibenarkan karena adalah haknya untuk dididik ilmu oleh suaminya atau mengizinkannya keluar mencari ilmu dimanapaun. Sang hakim harus memaksa suaminya untuk meluluskan tuntutan sang istri seperti kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan materi sang istri, karena hak-hak istri dalam urusan agama adalah hal yang paling esensi dan paling utama.”


KESIMPULAN
Era globalisasi dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya penyatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan lain sebagainya, yang terjadi di antara satu negara dengan negara lainnya, tanpa menghilangkan identitas negara masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat kemajuan teknologi informasi (TI) yang dapat menghubungkan atau mengomunikasikan setiap isu yang ada pada suatu negara dengan negara lain.
Pada awal perkembangan Islam, terdapat dua jenis lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu kuttab yang mengajarkan cara menulis dan membaca al-Qur’an, serta dasar-dasar pokok ajaran Islam kepada anak-anak yang merupakan pendidikan tingkat dasar. Sedangkan masjid dijadikan sebagai tingkat pendidikan lanjutan pada masa itu yang hanya diikuti oleh orang-orang dewasa. Dari masjid-masjid ini, lahirlah ulama-ulama besar yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam, dan dari sini pulalah timbulnya aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam berbagai ilmu pengetahuan, yang waktu itu dikenal dengan istilah madrasah. Kegiatan para ulama dalam mengembangkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Islam maju dengan pesatnya, bahkan dari satu periode ke periode berikutnya semakin meningkat.

REFERENSI
Hanun Asrohah, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta:Wacana Ilmu,2001),
Sukarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Islam, (Bandung: Angkasa, 2000),
Ahmad Syalaby, sejarah kebudayaan islam, (Jakarta: al-husna, 2000)
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1986),.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996),
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
Haikal, Sejarah kehipan Muhammad(Jakarta: Balai pustaka, 1972)
Samsul Nizar, Sejarah pendidikan Islam (Jakarta: Kencana: Prenada media group, 2007)
http://www.sanaky.com/materi/Pendidikan_Islam_Di_Indonesia.pdf
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan islam(Jakarta:kalam mulia 2002) jilid 1.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

SURABAYA

2009

TRISMA'S 2008

TRISMA'S 2008
Soeve Yoed, Ibnoe Mz

Pengikut

Ibnoe Maesycoery13. Diberdayakan oleh Blogger.