Guru Bangsa

Pendidikan Islam
RSS

Total Tayangan Halaman

Pendidikan Islam; ICT Pembelajaran

SUMBER HUKUM ISLAM & HUKUM TAKLIFI
Oleh: Dedy Irawan Maesycoery
 
Materi PAI SMA Kelas X Semester I 

STANDAR KOMPETISI
Memahami sumber hukum Islam, hukum taklifi, dan hikmah ibadah
KOMPETISI DASAR
1.   Menyebutkan pengertian kedudukan dan fungsi Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam
2.   Menjelaskan pengertian, kedudukan dan fungsi hukum taklifi dalam hukum Islam
3.    Menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari
INDIKATOR
  1. Mampu menyebutkan pengertian Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam
  2. Mampu menjelaskan kedudukan Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam
  3. Mampu menjelaskan fungsi Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam.
  4. Mampu menjelaskan fungsi Al-Hadits terhadap Al-Quran
  5. Mampu menjelaskan pengertian, kedudukan dan fungsi hukum taklifi dalam hukum islam
PEMBAHASAN
A.     Sumber Hukum Islam
·      Pengertian
Menurut pengertian bahasa Sumber adalah asal sesuatu, Hukum adalah menetapkan sesuatu atau tidak menetapkannya. Sedangkan Pengertian Sumber Hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).
Sedangkan menurut istilah ahli Usul Fiqih, Hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT, yang menuntut mukalaf (orang yang sesudah balig dan berakal sehat) untuk memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal, rakhsah (kemudahan), dan azimah. Menurut istilah ahli fikih, Hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan syariat, berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah dan al-ibadah. Sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib, sunnah (mandub), haram, makruh, dan mubah. Maksud Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian Sumber Hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam. Dasar hukum ijtihad adalah Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Turmuzi dan Abu Daud yang mengungkapkan dialog Nabi SAW dengan Mu’az bin Jabal, ketika Mu’az akan ditugaskan sebagai Gubernur Yaman
Adapun Fungsi hukum Islam adalah:
a)    Fungsi Ibadah : sebagai alat untuk menegakkan ibadah
b)   Fungsi amar ma’ruf nahi munkar : perintah kebaikan dan pencegah kemunkaran
c)    Fungsi zawajir : sebagai alat penjeraan
d)   Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah: penataan organisasi dan rehabilitasi masyarakat
Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
1.    Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an dalam surat An Nisa’ ayat 105, yaitu:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS. An Nisa’; 105).
Kata Al-Quran berasal dari kata Qara'a artinya “membaca”. Bentuk Mashdar -nya artinya “bacaan” dan “apa yang tertulis padanya”.Secara Istilah Alquran adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, bila membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiridengan surat An-Nas
·      Kedudukan Al-Qur’an dalam Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, baik yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
·      Fungsi Al-Qur’an dalam Sumber Hukum Islam
a)    Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
b)   Al Quran berfungsi sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya.
c)    Al Quran berfungsi sebagai ajaran yang memberi pengetahuan tentang berbagai hal baik jagat raya maupun makhluk yang mendiaminya, termasuk ajaran tentang keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral atau akhlak.
2.    Al- Sunnah / Al-Hadits
Sunnah secara bahasa berarti “cara yang dibiasakan” atau “cara yang terpuji”. Sunnah lebih umum disebut Hadis, yang berarti: قريبٌ (dekat), جديدٌ (baru), خبرٌ (berita) atau pembicaraan. Secara istilah menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan Hadits adalah:
ما صدرَ عن النبي غير القرأن من قول أو فعل أو تقرير
“Semua yang bersumber dari Nabi saw. selain Alquran baik berupa perkataan,perbuatan atau persetujuan”
Sedangkan menurut istilah Ahli Hadis yang dimaksud dengan Hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takrir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW.
·      Kedudukan Al- Hadits dalam Sumber Hukum Islam
Para ulama Islam berpendapat bahwa hadis menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an. Mereka beralasan kepada dalil-dalil Al-Qur’an surah Ali-’Imran,3:132,surah Al-Ahzab,33:36 dan Al-Hasyr,59:7,serta hadis riwayat Turmuzi dan Abu Daud yang berisi dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal tentang sumber hukum Islam
·      Fungsi Al- Hadits dalam Sumber Hukum Islam
Fungsi atau peranan hadis (sunah) di samping Al -Qur’anul Karim adalah:
a)    Sebagai Muaqqid yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkanAlquran, dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah.
b)   Sebagai Bayan yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Alqur,an yang belumjelas, dalam hal ini ada tiga hal :
§  Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Alquran yang masih mujmal, misalnyaperintah shalat dalam Alquran yang mujmal, diperjelas dengan Sunnah.
§  Membatasi kemutlakan (taqyid al-muthlaq). Misalnya, Alquran memerintahkanberwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya. Lalu Al-Sunnah membatasinya. 
§  Mentakhshishkan keumuman. Misalnya, Alquran mengharamkan tentang bangkai,darah dan daging babi, kemudian al-Sunnah mengkhususkan dengan memberikanpengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.
§  Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an (bayan at-tasyri) Menciptakan hukum baru namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Misalnya, Rasulullah melarang untuk binatang buas danyang bertaring kuat, dan burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkandalam Alquran.
3.    Ijtihad
Menurut bahasa kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab,yang kata kerjanya “Jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Sedangkan menurut iastilah Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’ dengan cara istimbat dari Al-Quran dan hadist.Mujtahid adalah seseorang yang melakukan ijtihad. Para mujtahid pada zaman sahabat hingga zaman tabi’in mengambil hukum-hukum suatu masalah langsung dari Al-Quran dan hadist muhammad SAW.
Mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi:
1.    Mujtahid yang bekemampuan berijtihad seluruh amsalah hukum islam dan hasilnya diikuti oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Mereka berusaha sendiri, tanpa memungut pendapat orang lain.
2.    Mujtahid filmadzhab atau mujtahid yang di dalam berijtihad mengikuti pendapat salah satu madzhab dengan beberapa perbedaan. Misalnya abu yusuf yang mengikuti pendapat madzhab manafi.
3.    Mujtahid fil masail atau mujtahid yang hanya membidangi dalam masalah-masalah tertentu. Ciri mujtahid kelas ini yaitu:
a.    Dalam berijtihad mengikuti pendapat imam madzhab tertentu.
b.    Lapangan ijtihadnya terbatas pada soal-soal tertentu dan menyangkut hal-hal yang cabang saja.
4.  Mujtahid yang mengikatnya diri muqoyyad ciri-ciri mujtahid yang termasuk dalam kelas muqoyyad:
a.    Mengikuti pendapat-pendapat ulama’ salaf
b.    Mengetahui sumber-sumber hukum dan masalahnya
c.    Mampu memilih pendapat yang di anggap lebih baik dan benar.
·      Kedudukan Ijtihad dalam Sumber Hukum Islam
a)    Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadis. Dalilnya adalah Al-Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman: ”Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu ke arahnya.”(Q.S.Al-Baqarah,2:150)
b)   Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut.
c)    Keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad mgk berlaku bagi satu orang tapi tidak berlaku bagi orang lain. (menyangkut tempat dan waktu)
d)   Ijtihad tdk berlaku dlm urusan ibadah mahdhah.
e)    Keputusan ijtihad tdk boleh bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah
f)    Dalam proses berijtihad  hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat, kemaslahatan umum dan kemanfaatan bersama.
·      Fungsi Ijtihad dalam Sumber Hukum Islam
a)    Fungsi Ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu,yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur’an dan Hadis. 
B.     Hukum Taklifi
·      Pengertian
Menurut bahasa Hukum Taklifi adalah hukum pemberian beban. Sedangkan menurut istilah ialah ketentuan atau khitab Allah SWT yang menuntut mukalaf (balig dan berakal sehat) untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Tuntutan Allah SWT untuk melakukan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Jumu’ah, 62:10. Artinya: ”Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.”(Q.S. Al-Jumu’ah, 62:10).
·      Kedudukan dan Fungsi Hukum Taklifi
Kedudukan dan fungsi hukum taklifi menempati posisi yang utama dalam ajaran Islam, karena hukum taklifi membahas sumber hukum Islam yang utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadis dari segi perintah-perintah Allah SWT dan rasul-Nya yang wajib dikerjakan, larangan-larangan Allah SWT dan rasul-Nya yang harus ditinggalkan serta berbentuk pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Adapun Pembagian Hukum Taklifi Yaitu Ada Lima
a)   Al-Ijab (Wajib)
Tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan, tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman. Bentuk hukuman dari al-ijab ialah Wajib (Fardu), Contohnya: Memandikan, mengkafani, mensalatkan, dan menguburkan jenazah seorang Muslim. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah yang artinya:
 “Dirikanlah olehmu sholat dan tunaikan zakat” (Q.S. Al-Baqarah,2:110)
b)   An-Nadb (Sunnah)
Tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, yang apabila dikerjakan pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Contohnya:- Salat sunah rawatib (salat sunah yang mengiringi salat fardu).- Puasa pada hari senin dan kamis di luar daripada bulan Ramadan.- Mengucapkan salam (Assalamu’alaikum wr.wb.) bila bertemu dengan sesama Muslim, Seperti juga perbuatan sunah yang menjadi pelengkap perbuatan wajib misalnya adzan, sholat berjema’ah, sholat hari raya, berkorban dan ber aqiqah.
c)    At-Tahrim (Haram)
Tuntutan syar’I untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.Bentuk hukum dari at-tahrim ialah haram,yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan dianggap berdosa,tetapi apabila ditinggalkan pelakunya akan mendapat pahala. Contohnya:- Meminum minuman keras yang memabukkan (Q.S. Al-Maidah, 5:90), Melakukan pencurian (Q.S. Al-Maidah,5:38), Durhaka kepada kedua orangtua.
d)   Al-Karahah (Makruh)
Sesuatu yang dituntut syar’I kepada mukalaf untuk meninggalkannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.Bentuk hukum dari al-karahah disebut makruh.Orang yang mengerjakan perbuatan makruh dianggap tidak berdosa,dan yang meninggalkannya mendapat pujian dan pahala.Contohnya:- Memakan makanan berbau seperti pete ketika akan bergaul dengan orang lain.- Berjualan ketika azan Jum’at
e)    Al-Ibahah (Mubah)
firman Allah SWT yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Bentuk hukum dari al-Ibadah ialah Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Dikerjakan atau ditinggalkan, pelakunya tidak akan mendapat pahala, dan tidak pula dianggap berdosa. Contohnya: -Memakan berbagai jenis makanan halal, seperti nasi, sayur-mayur, dan buah-buahan. -Memilih warna pakaian untuk menutup aurat. -Berusaha mencari rezeki dengan jalan berdagang.
READ MORE - Pendidikan Islam; ICT Pembelajaran

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Fiqh; KITAB SHOLAT

Oleh: Dedy Irawan Maesycoery
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Setelah kita mempelajari bab tentang thaharoh maka bab ini membahas tentang Sholat berserta syarat dan rukunnya dan juga membahas Jama’ Qoshor berserta syarat-syaratnya.
Kita sudah mengetahui bahwa Sholat adalah salah satu rukun islam yang kedua, dimana sholat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap umat islam dengan syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu yang sudah disyari’atkan, maka dari itu dalam makalah ini akan membahas tentang sholat berserta syarat-syarat dan rukun-rukunnya, dan juga membahas tentang jama’ qoshor berserta syarat-syaratnya, yang mana sholat Jama’ Qoshor adalah sama-sama dilakukan oleh orang yang sedang bepergian kesuatu tempat yang jauh (musafir), yang lebih spesifikasinya dalam makalah ini membahas tentang syarat-syarat dalam pelaksanaannya serta khilafiyah antara ulama’ tentang jama’ qoshor.
Tujuan dari makalah ini adalah tidak lain supaya kita mengetahui dan tidak meremehkan Sholat serta syarat dan rukunnya begitu juga dengan Jama’ Qoshor berserta syarat-syarat dalam pelaksanaannya. 
B.     Rumusn Masalah
1.      Apa definisi Sholat itu ?
2.      Apa saja syarat dan rukun Sholat itu ?
3.      Apa sholat Jama’ Qoshor itu ?
4.      Apa saja syarat Jama’ Qoshor itu ?
C.     Tujuan Masalah
1.      Mengerti definisi sholat
2.      Mengetahui syarat-syarat dan rukun-rukun Sholat
3.      Mengerti yang dimaksud dengan Jama’ Qoshor
4.      Mengetahui syarat-syarat Jama’ Qoshor

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Sholat
Q      Definisi
Arti sholat menurut terminologi adalah berdo’a, sedangkan menurut Syara’ adalah beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbirotul ihrom dan diakhiri dengan salam, disertai beberapa syarat yang telah ditentukan.
Q      Syarat Wajib Sholat
1.    Beragama Islam, sholat tidak diwajibkan bagi orang kafir asli dan juga tidak wajib baginya untuk mengodloi jika masuk Islam.
2.    Baligh
3.    Berakal
Q      Syarat Sebelum Melakukan Sholat
1.    Sucinya anggota badan dari hadats kecil maupun besar, dan suci dari najis.
2.    Menutup warna aurat dengan sesuatu yang suci.
3.    Berdiri di tempat yang suci.
4.    Mengetahui masuknya waktu, atau adanya dugaan kuat dengan cara ijtihat, jika melakukan sholat tanpa mengetahui masuknya waktu, maka sholatnya tidak sah meskipun waktunya tepat.
5.    Menghadap kiblat, yaitu menghadapkan dadanya ke arah kiblat dalam keadaan berdiri dan duduk secara hakiki, dan pada saat ruku’ dan sujud secara hukman.
Q      Syarat- Syarat Rukun Sholat
Rukun adalah ketentuan yang harus terpenuhi dalam melaksanakan ibadah yang posisi ketentuan itu berada di dalam ibadah itu sendiri, dan bisa dikatakan bahwa rukun adalah isi dari ibadah. Sementara rukun-rukunnya sholat menurut Syafi’iyah yang ada 13 (versi kitab Al-Mabadi Al-Fiqiyyah) atau yang ada 18 (versi kitab Kifayah Al-Akhyar), itu memiliki syarat-syarat tersendiri dalam artian kita harus mengetahui metode dalam melaksanakan rukun sholat tersebut.
1.  Syarat dalam Melakukan Niat
Apabila sholatnya adalah fardlu maka wajib menyengaja yaitu untuk membedakan pelaksanaan sholat dengan yang lain, menentukan yaitu untuk membedakan sholat fardhu apa yang akan dikerjakan dan niat kefardhuan. Misalkan kita sholat dhuhur maka ketentuan yang harus terpenuhi dalam niatnya adalah usholli fardhu dhuhri. Dan yang lainnya tidak perlu disebutkan lagi. Tapi kalau sholatnya adalah sunnah yang memiliki waktu atau memiliki sebab maka wajib menyengaja dan menentukan. Misalkan sholat yang memiliki waktu yaitu qobliyah dhuhur maka ketentuan yang harus terpenuhi dalam niatnya adalah usholli qobliyatadh dhuhri.Misalkan sholat yang memiliki sebab yaitu sholat gerhana maka ketentuan yang harus terpenuhi dalam niatnya adalah (sholat gerhana matahari) usholli kusuf. Sedangkan apabila sholatnya adalah sunah mutlak (tidak memiliki nama) maka ketentuannya hanya wajib menyengaja , yaitu hanya cukup niat usholli.
2.  Syarat dalam Berdiri (Bagi Sholat Fardlu)
Berdiri atau yang menjadi ganti dari berdiri merupakan rukun sholat dalam sholat fardlu. Disyaratkan dalam berdiri adalah tegak, misalkan posisi berdiri diantara ruku’ dan tegak maka tidak sah. Kalau dia hanya bisa mampu berdiri tidak tegak, maka ia wajib berdiri dengan posisi tersebut. Dan ketika ruku’nya ia tambahkan kemiringannya.
3.  Syarat dalam Takbiratul Ihram
Takbir adalah merupakan rukun sholat. Shighot takbir adalah khusus Allohu Akbar, apabila dia mengucapkan lafadz selain itu meskipun juga termasuk Asmaul Husna, maka takbirnya tidak dianggap. Kalau bacaannya dibalik Akbar Alloh, maka tidak cukup. Apabila diselai lafadz lain, dan tidak terlalu panjang maka diperbolehkan, misal Allohul Jalilu Akbar. Tapi apabila terpisanya panjang maka tidak boleh, misal Allohul ladzi laaillaha illa huwal malikul qudus Akbar, dan tidak diperkenankan menambah huruf yang dapat mencela makna, seperti membaca panjang hamzahnya yang nanti berarti apakah Allah Maha Besar.
4.  Syarat dalam Membaca Fatihah
Fatihah adalah termasuk rukun sholat. Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa basmalah adalah termasuk ayat fatihah, maka tidaklah sah sholatnya kalau tidak membaca basmalah. Bacaan fatihahnya harus fasih, dengan memenuhi seluruh tasydid yang ada dalam fatihah. Harus tertib, terus menerus, tidak diselingi dzikir yang lain. Kalau tidak mampu membaca fatihah maka ia wajib belajar, tapi misalkan sama sekali tidak ada yang mengajarkannya, maka dia membaca 7 ayat lain, dan jangan diterjemahkan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Kalau masih belum bisa membaca 7 ayat yang lain, maka bisa diganti dengan dzikir” Kalau masih belum bisa maka bisa diganti dengan dzikir yang lain.
5.  Syarat-syarat dalam Ruku’
Ruku’ adalah merupakan rukun sholat bersama tuma’ninahnya. Standar ruku’ adalah membungkukkan punggung sampai rata dengan pantatnya (posisi 90 derajat siku-siku) dengan sekiranya kita meletakkan sesuatu tidak jatuh. Ketentuan ini bagi orang yang sholatnya berdiri tapi bagi orang yang sholatnya duduk maka standar ruku’nya adalah membungkukkan punggungnya rata dengan wajahnya sedangkan standar tuma’ninahnya adalah anggota yang digunakan untuk rukuk, diam semua dengan sekiranya membaca subhanalloh.
6.  Syarat dalam I’tidal
I’tidal adalah merupakan rukun sholat bersama tuma’ninahnya. Posisi standar i’tidal adalah kembali dalam posisi sebelum ruku’ dalam arti kalau sholatnya berdiri berarti berdiri kalau duduk berarti duduk. Apabila dalam ruku’nya ia melihat ulat tiba-tiba ia berdiri maka i’tidalnya itu tidak dianggap dan ia wajib memperpanjang i’tidalnya. Tapi perlu diingat bahwa memperpanjang i’tidal tanpa alasan apapun menurut sebagian ulama’ bisa dianggap batal sholatnya. 
7.  Syarat dalam Sujud
Sujud adalah merupakan rukun sholat bersama tuma’ninahnya. Posisi standar dalam sujud adalah dengan meletakkan tujuh anggotanya ke bumi yaitu dahi, dua telapak tangan, dua lutut dan dua kaki (jari-jarinya). Khusus bagi anggota sujud berupa dahi maka tidak diperkenankan tertutup dalam artian tidak nempel ke bumi walaupun itu satu helai rambut. Kalau misalkan sujudnya dengan mewakilkan hidungnya yang mancung atau dia sujud dengan menempelkan pelipisnya atau juga ia menempelkan penutup kepala maka sujudnya tidak cukup. Dan juga tidak cukup ia sujud pada sesuatu yang bergerak ketika ia bergerak. Apabila dalam dahinya ada luka dan kemudian diperban serta ia sujud dengan tertutup perban tersebut yang merupakan benda bergerak ketika bergerak, maka sujudnya dianggap cukup dan ia tidak perlu mengqodhoi sholatnya.
8.  Syarat dalam Duduk Diantara Dua Sujud
Duduk diantara dua sujud adalah termasuk rukun sholat bersama tuma’ninahnya. Posisi standar duduknya adalah tegak dengan pantat yang disandarkan pada kaki yang nempel ke bumi.
9.  Syarat dalam Duduk Akhir, Tasyahud Akhir dan Membaca Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW di dalam Tasyahud Akhir
Duduk yang mendampingi salam, tasyahud akhir dan membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW merupakan rukun sholat. Pada saat tasyahud diwajibkan maka duduknya pun wajib, adapun wajibnya membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW dalam tasyahud.
Kewajiban membaca sholawat kepada Nabi Muhammad hanya ada dalam sholat, di luar sholat tidak wajib. Namun ada beberapa pendapat ulama’ dalam membaca sholawat di luar sholat, yaitu :
ü  Membaca sholawat wajib cuma sekali dalam hidup
ü  Membaca sholawat wajib dalam menghadiri setiap majlis
ü  Membaca sholawat wajib setiap berdzikir
ü  Membaca sholawat wajib pada awal do’a dan akhir do’a.
Membaca sholawat kepada keluarga Nabi Muhammad tidaklah wajib tapi sunnah maka ketika meninggalkannya maka tidak membatalkan sholat.
10.  Syarat dalam Salam
Salam yang pertama merupakan rukun dalam sholat. Adapun standarisasi dalam membaca salam adalah assalamu’alaikum maka tidak cukup membaca salam ‘alaikum atau salamulloh ‘alaikum atau assalamu’alaihim, jadi lafadz salam tidak boleh dirubah. Kalau Imam Roffi mengatakan boleh disamakan dengan yang ada dalam tasyahud.
Apakah niat keluar dalam sholat itu wajib? Dalam hal ini ada 2 pendapat :
a.       Niat keluar dalam sholat bersamaan dengan salam itu wajib, dengan alasan bahwa salam adalah dzikir yang wajib dalam sholat, sebagaimana niat wajib bersamaan dengan takbirotul Ihrom sebagai tanda dimulainya sholat.
b.      Niat keluar dalan sholat tidak wajib, dengan alasan disamakan dengan ibadah yang lainnya. Salam tidak sama dengan takbirotul Ihrom karena takbirotul Ihrom merupakan perbuatan yang diharuskan bersamaan dengan niat.
Dari kedua pendapat tersebut yang paling shohih adalah pendapat kedua yang mengatakan bahwa niat keluar dalam sholat tidak wajib bahkan sampai ada yang mengatakan sholatnya batal, karena salam yang kedua belum dikatakan keluar dalam sholat.
Q      Perbedaan Rukun Shalat
1.  lafadz Takbir, menurut Malikiyah dan Syafi’iyah hanya sah dengan lafadz allah al akbar. Sedangkan Hanafiyah menganggap bisa menggunakan lafadz yang semakna dengannya, semisal allah al a’dzam, allah al ajall.
2.  Para ulama sepakat, bahwa tidak sah sholat tanpa membaca apapun, baik keadaan lupa atau tidak. Tetapi kemudian berbeda dalam bacaan apa yang wajib. Malikiyah dan Syafi’iyah mengharuskan membaca Ummul Kitab (al fatihah), sedangkan Hanafiyah cukup minimal 3 ayat dari al Qur’an.
3.  I’tidal, menurut Hanafiyah I’tidal dari ruku’ hukumnya tidak wajib. Dan Syafi’iyah berpendapat itu adalah wajib. Dalam Malikiyah masalah ini masih belum jelas, apakah wajib atau sunnah karena tidak ada keterangan dalam masalah ini.
4.  Bacaan tasyahhud, Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa tasyahhud tidak wajib. Sebagian ulama’ seperti Syafi’iyah, Hanabilah, dan Daud ad Dzahiri menghukumi wajib.
5.  Salam, Jumhur Ulama berpendapat bahwa salam adalah wajib, tetapi menurut Hanafiyah hukumnya tidak wajib.
B.        SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
Q      Definisi
Shalat jama’ adalah shalat yang dikumpulkan.Shalat jama’ maksudnya melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.[1]
Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan, Shalat qashar adalah shalat yang disingkatkan. Qashar itu artinya singkat atau pendek,  maksudnya meringkas shalat  fardlu yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar. [2]
Sholat jama’ dan qashar adalah karinganan dari Allah yang diberikan pada hamba Nya yang sedang dalam keadaan dlorurat, seperti dalam firman Allah Dalam QS.Annisa; 101  :
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu).(QS.Annisa; 101),
Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah U yang disuruh oleh Rasulullah r untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”. 
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Mengerjakannya boleh dengan jama’ taqdim (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada waktu zuhur dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu magrib) dan jama takhir (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu isya). Berikut ini beberapa contoh niat shalat jama’ dan qashar sekaligus, baik secara jama’ taqdim maupun jama’ takhir:
Niat shalat zuhur dan ashar dengan qashar sekaligus jama’ taqdim:
أصلّي فرض الظهر ركعتين قصرا مجموعا بالعصر لله تعالى.
Artinya: “Aku niat shalat zuhur dua rakaat qashar dan jama’ dengan ashar karena Allah ta’aala”.
Niat shalat ashar dengan zuhur sekaligus dengan qashar sekaligus jama’ takhir:
أصلّي فرض العصر ركعتين مجموعا بالظهر قصرا لله تعالى.
Artinya: “Aku niat shalat zuhur dua rakaat qashar dan jama’ dengan ashar secara jama’ takhir karena Allah ta’aala”.
Niat shalat isya dan magrib dengan qashar sekaligus jama’ takhir:
أصلّي فرض العشاء ركعتين مجموعا بالمغرب قصرا لله تعالى.
Artinya: Aku niat shalat isya dua rakaat qashar dan jama’ dengan magrib karena Allah ta’aala”. [3]
Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah rmesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR.Bukhari Muslim).
Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah r ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).
Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah ( langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah . 
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullah SAW selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.
Q      Syarat Pelaksanaan Shalat Dengan Cara Jama’ Taqdim
1.      Tartib, yakni melakukan kedua shalat itu sesuai dengan urutan waktunya. Waktu yang digunakan untuk jama’ taqdim adalah waktu shalat pertama, sedangkan shalat kedua merupakan turutan. Jadi, shalat pertama itulah semestinya yang didahulukan.
2.      Niat shalat jama’ ketika takbiratul ihram shalat pertama atau setidaknya sebelum selesai shalat tersebut.
3.      Wala’, artinya pelaksanaan secara beruntun, shalat kedua tidak berselang lama dari shalat pertama. 
4.      Keadaan sebagai musafir masih berlanjut ketika ia memulai shalat kedua. [4]
Apabila mengerjakan dengan jama’ takhir maka shalat zuhur dulu yang dikerjakan 2 rakaat baru shalat ashar 2 rakaat, begitu pula halnya dengan shalat magrib dan isya maka shalat magrib dulu yang dikerjakan 3 rakaat baru shalat isya 2 rakaat. Ini berdasarkan ijtihad dari para ulama yang berpedoman kepada hadits nabi, yang artinya ‘mulailah olehmu darimana Allah memulai”, maka yang mula datang menurut urutan adalah zuhur sebelum ashar dan magrib sebelum isya. Walaupun jama’ takhir, maka mulailah mengerjakan menurut asal datangnya.
Q      Syarat Pelaksanaan Shalat Dengan Cara Jama’ Takhir hanya dua syarat
1.      Berniat pada waktu shalat pertama, akan menjama’kan shalat tersebut ke shalat kedua. Dengan demikian penundaan shalat tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran atau kelalaian.
2.      Pelaksanaan kedua shalat itu dalam keadaan musafir. Bila safarnya putus sebelum kedua 

Q      Pendapat- Pendapat Tentang shalat jama’
Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat zuhur dan ashar secar taqdim pada waktu zuhur di Arafah, begitupun antara shalat magrib dan isya secara takhir diwaktu isya di mudzalifah, hukumnya sunnat, berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Artinya: “Demi zat yang tiada tuhan selain Dia, Rasulullah tidak pernah mengerjakan satu shalat pun kecuali pada tepat waktunya selain shalat yang beliau jamak (gabung), yakni zuhur dengan ashar di Arafah dan magrib dengan Isya di Mudzalifah. (Diriwayatkan oleh Syaikhan)
Dan menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu waktu dari kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah dilakukannya itu sewktu berhenti ataukah selagi dalam perjalanan.
Dalam kitab Al-Muwaththa’ Malik meriwayatkan dari Mu’adz bahwa:
Artinya: “Pada suatu hari nabi saw mengundurkan shalat diwaktu perang Tabuk dan pergi keluar, lalu mengerjakan shalat zuhur dan ashar secara jama’, setelah itu beliau masuk dan kemudian beliau pergi lagi dan mengerjakan shalat magrib dan isya secara jama’ pula.[5]
Berkata Syafi’i: “Kata-kata pergi dan masuk itu menunjukkan bahwa Nabi saw sedang berhenti. Lalu Imam Syafi’i juga berkata: “Jika seseorang bershalat magrib dirumahnya dengan niat menjama’, kemudian ia pergi ke mesjid melakukan shalat isya juga boleh”. Dikatakan bahwa Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu.
Ada pula hadits dari Ibnu Umar yang membolehkan menjama’ dua shalat dalam bepergian.
Artinya: “Hadits Ibnu Umar ra, dimana ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw, jika tergesa-gesa dalam berangkat, beliau mengakhirkan shalat magrib sehingga beliau menjama’ (mengumpulkan) shalat magrib dan shalat isya.
Kemudian tentang menjama’ diwaktu hujan. Dalam sunnahnya Al-Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, katanya: “Termasuk sunnah Nabi saw. menjama’ shalat magrib dengan isya, apabila hari hujan lebat. Dan Bukhari meriwayatkan pula bahwa.
Artinya: “Nabi saw menjama’ shalat magrib dan isya disuatu malam yang berhujan lebat”.[6]
Q      Pendapat- Pendapat Tentang shalat qashar
1.   Ibnul Qaiyim
Pendapat yang beliau kemukakan adalah bahwa: “Jikalau bepergian, Rasulullah SAW selalu mengqashar shalat yang empat rakaat dan mengerjakannya hanya dua-dua rakaat, sampai beliau kembali ke Madinah, tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa beliau tetap melakukannya empat rakaat. Hal ini tidak menjadi perselisihan lagi bagi imam-imam walau mereka berlainan pendapat tentang hukum mengqashar. Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir menetapkan bahwa hukumnya wajib.
2.   Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah wajib, musafir yang tidak meringkas shalat yang empat rakaat, jika ia duduk pada rakaat kedua setelah tasyahud, maka shalatnya sah, hanya hukumnya makruh karena ia mengundurkan salam, sedang dua rakaat selanjutnya dianggap shalat. Tapi bila ia tidak duduk pada rakaat kedua itu maka shalatnya tidak sah. Dan jika berniat mukim 15 hari maka boleh mengqashar shalatnya. Pendapat ini juga sama dengan Al-Laits bin Sa’ad, Umar, Abdullah bin Umar, dan Ibnu Abbas. Ada juga riwayat yang menyatakan pendapat Said Ibnul Musaiyab juga sama dengan mazhab Hanafi ini.
3.   Maliki (Mazhab Maliki)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah sunat muakkad dan lebih ta’kid lagi dari shalat berjamaah, sehingga apabila musafir tidak mendapatkan kawan sesama musafir untuk berjamaah, hendaklah ia bershalat secara perseorangan dengan mengqashar, dan makruh baginya mencukupkan empat rakaat dan bermakmum kepada orang yang mukim. Dan jika seseorang berniat hendak mukim lebih dari empat hari, harus mencukupkan shalat dan kalau kurang boleh mengqashar.
4.   Ahmad bin Hambal (Mazhab Hanbali)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakan.
5.   Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakannya. Kalau memang sudah mencapai jarak boleh mengqashar.
Mengenai jarak bolehnya mengqashar shalat dapat diberi penjelasan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri, katanya:
Artinya: “Apabila Rasulullah SAW bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar shalat (diriwayatkan oleh Sa’id bin Mashur dan disebutkan oleh Hafizh dalam At-Takhlis, dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya.
Satu farsakh itu sama dengan tiga mil atau 5541 meter sedang 1 mil sama dengan 1748 meter.
Tempat dibolehkannya memulai mengqashar shalat adalah setelah keluar dari rumah tempat kita tinggal (berdomisili). Dan bila seseorang telah kembali ke tempat tinggal asalnya atau telah berniat untuk menetap di tempat yang dituju itu, maka habislah baginya hukum qashar.

Q      Analisis Pendapat Sendiri
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan para ulama, maka penulis mempunyai pendapatnya sendiri, yaitu:
Bagi orang yang sedang bepergian (musafir) boleh mengqashar shalat (menyingkat shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat) dengan beberapa syarat:
1.      Kepergiannya bukan dalam rangka kemaksiatan Jadi, qashar hanya dapat dilakukan pada safar yang dibenarkan oleh syari’at, meliputi:
a.       Safar yang wajib, seperti safar haji.
b.      Safar yang mandub, seperti menziarahi makam Rasulullah.
c.       Safar yang mubah seperti perjalanan niaga.
2.      Jarak kepergiannya harus mencapai 16 farsakh (80 Km, lebih 640 m) atau 48 mil yang sama dengan 76, 80 Km.
Ket:  1 Farsakh      = 3 miil
  1 miil              = 4000 langkah
  1 langkah       = 3 telapak kaki
3.      Shalat yang diqashar itu harus shalat yang rakaatnya 4, dan bukan shalat qadha’.
4.      Berniat qashar bersamaan dengan mengucapkan takbiratul ihram.
5.      Tidak boleh bermakmum kepada orang yang menetap (mukim).[7]
6.      Perjalanan itu dilakukan menuju ke suatu tempat tertentu, orang yang berjalan tanpa tujuan, sekalipun jarak yang ditempuhnya jauh tidak dibenarkan mengqashar shalat.
7.      Shalat itu dilakukan setelah musafir melampaui batas kota atau desa yang menjadi awal safarnya. Diriwayatkan dari Anas, katanya:
Artinya: “Saya shalat zuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan Zul Hulaifah dua rakaat” (Hadits Jama’ah)
8.      Shalat tersebut dilakukan sepenuhya dalam keadaan musafir. Bila safarnya putus, misalnya ditengah pelaksanaan shalat itu ia sampai ketujuan, maka ia harus menyempurnakannya menjadi empat rakaat.
Artinya: “Rasulullah bermukim di Mekkah selama delapan belas hari dan selama itu pula beliau mengerjakan shalat hanya dua rakaat-dua rakaat, dan sabdanya: “wahai penduduk negeri ini, shalat lah empat rakaat, karena kami adalah musafir”. (Hadits Abu Daud)
9.      Mengetahui bahwa ia boleh mengqashar shalat tersebut.[8]
Bagi orang musafir boleh menjama’ antara shalat zuhur dengan ashar diwaktu mana saja ia kehendaki dengan jama’ taqdim atau jama’ takhir, dan begitu pula halnya antara menjama’ antara shalat magrib dengan isya.
Orang yang tidak sedang bepergian atau mukim diperbolehkan menjama’ antara dua shalat (zuhur dengan ashar, magrib dengan isya), akan tetapi harus dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalat tersebut dan boleh pula menjama’ pada waktu hari hujan, karena sakit karena ada suatu keperluan.
Dari penjelasan diatas, dan berdasarkan pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) diharuskan mengqashar dan menjama’ shalatnya. karena itu merupakan sedekah dan keringanan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 101.


BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari Uraian yang telah disampaikan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Arti sholat menurut terminologi adalah berdo’a, sedangkan menurut Syara’ adalah beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbirotul ihrom dan diakhiri dengan salam, disertai beberapa syarat yang telah ditentukan.
Q      Syarat Wajib Sholat
1.    Beragama Islam, sholat tidak diwajibkan bagi orang kafir asli
2.    Baligh
3.    Berakal
Q      Rukun Sholat
Rukun-rukunnya sholat menurut Syafi’iyah yang ada 13 (versi kitab Al-Mabadi Al-Fiqiyyah) atau yang ada 18 (versi kitab Kifayah Al-Akhyar), itu memiliki syarat-syarat tersendiri dalam artian kita harus mengetahui metode dalam melaksanakan rukun sholat tersebut.
1.         Melakukan Niat
2.         Berdiri (Bagi Sholat Fardlu)
3.         Takbiratul Ihram
4.         Membaca Fatihah
5.         Ruku’
6.         I’tidal
7.         Sujud
8.         Duduk Diantara Dua Sujud
9.         Duduk Akhir, Tasyahud Akhir dan Membaca Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW di dalam Tasyahud Akhir
10.     Salam
Shalat  Jama’ adalah mengumpulkan dua shalat wajib dalam waktu yang sama, misal: shalat zuhur dengan ashar, dan shalat magrib dengan shalat isya bisa dengan jama’ takhir.
Shalat  Qashar adalah menyingkat shalat fardhu yang empat rakaat (zuhur, ashar, dan isya) menjadi dua rakaat, dan ini dikerjakan oleh orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).
Shalat jama’ juga boleh dikerjakan oleh orang yang tidak sedang bepergian (mukim), karena hari hujan, karena sakit, atau karena sebab-sebab atau keperluan lain yang mendesak.
Hukum shalat qashar apabila dalam perjalanan adalah wajib, akan tetapi adapula ulama yang berpendapat hukumnya sunnat muakkad, jaiz (boleh), sedangkan shalat jama’ juga boleh. Dan mengqashar shalat itu merupakan sedekah yang dikaruniakan Allah kepada mu semua, maka terimalah sedekah-Nya itu.
Q      Syarat Pelaksanaan Shalat Dengan Cara Jama’ Taqdim
1.      Tartib
2.      Niat shalat jama’
3.      Wala’
4.      Keadaan sebagai musafir masih berlanjut ketika ia memulai shalat kedua.
Q      Syarat Pelaksanaan Shalat Dengan Cara Jama’ Takhir
1.      Berniat pada waktu shalat pertama, akan menjama’kan shalat tersebut ke shalat kedua.
2.      Keadaan sebagai musafir. Bila safarnya putus sebelum kedua
Q      Syarat Pelaksanaan Shalat Qoshor
1.      Safar ghoiru maksiat
2.      Mencapai jarak 16 farsakh
3.      Sholat rub’iyah ( shalat yang mempunyai 4 rakaat)
4.      Niat qoshor
5.      melakukannya setelah musafir melampaui batas kota atau desa yang menjadi awal safarnya
6.      Tidak mukim dengan sempurna
7.      Mengetahui bahwa ia boleh mengqashar shalat tersebut


DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim
As Sunnah
Effendy. Mochtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang, Universitas Sriwijaya, 2000) buku 5
Djamaris. Zainal Arifin, Menyempurnakan Shalat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1996
Rifa’i. Pedoman Ibadah , Lintas Media, Jombang ; th
Nasution. Lahmuddin, Fiqih I , Logos, Jakarta:th
Syeikh Abd. Aziz bin Baz , Fatawa As-Sholat,
Abd. Adhim bin Badawi Al-Khalafi,  Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz,
Abu Abdillah Muhammad bin Qosim asy Syafi’i,  Tausyih ‘Ala Fathi Al Qorib Al Mujib, Dar al Fikr, Beirut:1996
Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Andalusy, Bidayah al Mujtahid,  al Hidayah, Surabaya
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2, PT. Al-Ma’arif, Bandun: 1976
Anwar, Moch. Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib, Al-Ma’arif, Bandung:1973
Rasjid, Sulaiman, Haji. Fiqih Islam ( Hukum Fiqih Lengkap ),Sinar Baru Algensindo, Bandung: 1994 , Cet. 7


[1]    Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang, Universitas Sriwijaya, 2000) buku 5, h. 31
[2]    Ibid, buku 3, h. 17-18
[3]    Rifa’i. Pedoman Ibadah (Jombang ; Lintas Media, t. th) h. 43
[4]    Lahmuddin Nasution, Fiqih I (Jakarta, Logos, t. th) h. 126
[5]    Opcit, 279-280
[6]    Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2 (Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1976) h. 266
[7]    Moch. Anwar, Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib (Bandung, Al-Ma’arif, 1973)h. 62-63
[8]    Lahmudin Nasution, Fiqih 1 (Jakarta, Logos t. th) h. 125
READ MORE - Fiqh; KITAB SHOLAT

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

SURABAYA

2009

TRISMA'S 2008

TRISMA'S 2008
Soeve Yoed, Ibnoe Mz

Pengikut

Ibnoe Maesycoery13. Diberdayakan oleh Blogger.