Oleh; Dedy Irawan Maesycoery
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inila Nabi mengungkapkan kata-kata:
“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”
artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
- Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
- Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally)
menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
2. Medan Ijtihad
Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hokum (hukum Islam) secara mutlak?
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul
ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
a. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
b. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
c. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
d. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1) Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah." Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
2) Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
3) Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,
"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
3. Perbedaan Yang Ditolerir
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya,
"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari Muslim).
Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."
Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad yang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar Al-Muqaddasi).
Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya.
Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.
4. Ijtihad Tidak Dapat Digugurkan Dengan Ijtihad
Di atas telah disinggung bahwa hukum yang dihasilkan oleh ijtihad statusnya dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yang satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, sejalan dengan kaidah, "Ijtihad yang satu tidak dapat digugurkan oleh ijtihad yang lain."
Betapapun lemahnya suatu ijtihad, ia tetap eksis, tidak dapat begitu saja dilenyapkan oleh ijtihad yang lain, betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita pegangi secara konsisten maka jiwa tasammuh dalam menanggapi aneka ragam pendapat di bidang fiqih sebagai akibat perbedaan dalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kita akan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai rahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam.
Prinsip tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yang bersifat dhanny tersebut dipegang teguh oleh para Imam Mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."
5. Syarat-syarat Ijtihad.
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
b. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
d. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
e. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
f. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
g. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-un'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
h. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
i. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hokum dan sanggup mempertahankannya.
j. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.
6. Macam-macam Tingkatan Ijtihad.
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.
Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahli hukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benar dapat dilakukan adalah:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun secara kolektif.
2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif.
PENUTUP
1.Kesimpulan
Mengenahi pengertian ijtihad secara bahasa para ulama sepakat tetapi secara istilah mereka berbeda pendapat.
Mengenai bolehkah muqallid yang berfatwa? Para ulama juga berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan dan ada yang melarangnya.
Mengenai siapa yang mengenalkan hakim dimasa Nabi Muhammad sebelum menjadi Rasul dan sesudahnya pun terdapat beberapa pendapat, yaitu: ketika sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, menurut ulama ASWAJA adalah Allah lah yang menjadi hakim tapi akal manusia tak dapat menjelaskannya. Berbeda dengan hal itu kaum Mu’tazilah berpebdapat bahwa hakimnya adalah Allah tapi akal sudah bisa menjelaskan hukum tersebut. Ketika Nabi Muhammad menjadi Rasul mereka sepakat bahwa yang menjadi hakim adalah syari’at yang dibawa Rasul saw yang diturnkan oleh Allah kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Al-Hadits
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Penerbit Yayasan Paramadina
Pengantar Studi Islam, Penerbit IAIN Sunan Ampel. 2005
0 komentar:
Posting Komentar