TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
Oleh: ChynDye13
A.
Pengertian
Secara umum pengertian pornografi
dan pornoaksi di Indonesia dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sebagai
berikut; Pertama, Pembagian penduduk berdasarkan tempat tinggal perkotaan dan
pedesaan, Kedua, Pembagian penduduk berdasarkan agama yang dianut, dan Ketiga,
pembagian penduduk berdasarkan masyarakat adat yang berada antara satu dan lainnya.[1]
Jika ditelusuri pornografi dari
bahasa Yunani pornographia — secara harafiah tulisan tentang
atau gambar tentang pelacur kadang kala juga disingkat menjadi "porn,"
"pron," atau "porno" adalah penggambaran tubuh manusia atau
perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual, mirip,
namun berbeda dengan erotika, meskipun kedua istilah ini sering digunakan
secara bergantian. Kata "porne" yaitu "perempuan jalang"
dan graphein "menulis atau ungkapan". Pornographos; diartikan sebagai
writing abaut prostitutes tulisan atau gambaran mengenai pelacur.[2]
Sementara itu dalam kamus Ilmu Popular pornografi diartikan sebagai bacaan atau
gambar cabul.[3]
Dalam pengertian aslinya, pornografi
secara harafiah berarti "tulisan tentang pelacur", dari akar
kata Yunani klasik. mulanya adalah sebuah eufemisme dan secara harafiah berarti
'sesuatu yang dijual.' Kata ini berkaitan dengan kata kerja yang artinya menjual.
Kata ini berasal dari dari istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat
"pornoai", atau pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai
kecakapan tertentu dari Yunani kuno. Pada masa modern, istilah ini diambil oleh
para ilmuwan sosial untuk menggambarkan pekerjaan orang-orang seperti Nicholas
Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18 dan 19 menerbitkan
risalat-risalat yang mempelajari pelacuran dan mengajukan usul-usul untuk mengaturnya.
Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam "Oxford English Dictionary"
hingga 1905.
Akan tetapi, belakangan istilah
pornografi dan pornoaksi digunakan untuk publikasi segala sesuatu yang bersifat
seksual, khususnya yang dianggap berselera rendah atau tidak bermoral, apabila
pembuatan, penyajian atau konsumsi bahan tersebut dimaksudkan hanya untuk
membangkitkan rangsangan seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk secara
seksual segala jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah
"pornografi" seringkali mengandung konotasi negatif dan bernilai seni
yang rendahan, dibandingkan dengan erotica yang sifatnya lebih terhormat.
Istilah eufemistis seperti misalnya film dewasa dan video dewasa biasanya lebih
disukai oleh kalangan yang memproduksi materi-materi ini.
Sementara itu menurut istilah
beberapa para ahli, pornografi dapat didefinisikan sebagai berikut;
1) Abu
Al-Ghifari;
Pornografi adalah tulisan, gambar, lukisan, tayangan audiovisual,
pembicaraan, dan gerakan-gerakan tubuh yang membuka tubuh tertentu
secara vulgar yang semata-mata untuk menarik perghatian lawan jenis.[4]\
2) Menurut
RUU Anti Pornografi,
"Pornografi
adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau
yang dipersamakan dengan film, video, terawang, tayangan atau media komunikasi
lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau
tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan
erotis yang menonjolkan sensualitas dan atau seksualitas, serta segala bentuk
perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan
rangsangan nafsu berahi pada orang lain."
1) MUI atau
Departemen Agama;
"Pornografi
adalah ungkapan visualisasi dan verbalisasi
melalui media komunikasi massa tentang perlakuan/perbuatan laki-laki dan/atau
perempuan dalam keadaan memberi kesan telanjang bulat, dilihat dari depan,
samping, atau belakang. Penonjolan close up alat-alat vital, payudara atau
pinggul, baik dengan atau tanpa penutup, ciuman merangsang antara pasangan
sejenis ataupun berlainan jenis, gerakan atau bunyi suara dan/atau desah yang
memberi kesan persenggamaan, gerakan masturbasi, lesbian, homo, atau oral seks
yang bertujuan untuk membangkitkan nafsu seksual".
Beralih ke pengertian pornoaksi itu sebenarnya tidak
jauh dengen pengertiannya dengan pornografi yaitu penekanannya pada pornoaksi
lebih pada penggambaran aksi gerakan lenggokan dan liukan tubuh yang disengaja
atau tidak sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Dengan
demikian secara garis besar dalam wacana pornografi atau dalam tindak
pencabulan konteporer dan beberapa bentuk porno, yaitu meliputi porno teks, pornografi,
pornosuara dan pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua katogori ini dapat menjadi
sajian dalam satu media, sehingga konsepnya menjadi pornomedia
B. Kreteria dan Batasan Pornografi dan Pornoaksi
Berdasarkan kedudukannya pornografi dan pornoaksi
dapat kita tinjau dari dua sudut yaitu pertama; sudut social cultural (sosio
budaya, kurun waktu dan tahapan kedewasaan etis dari orang-orang secara
individual dan seluruh masyarakat). Kedua, adalah penilaian yang lebih
menyoroti pada aspek etika. Untuk itu perlu adanya kreteria mengenai indah,
kreteria baik yang lebih
mencakup pada masalah etis walaupun tekanannya bisa berbeda
berdasarkan tingkatan elsistensi dan pengaruh yang
ditimbulkannya secara umum pornografi dan pornoaksi dibedakan menjadi dua yaitu
pornografi dan pornoaksi normal, pornografi dan pornoaksi biasa dan pornografi
dan pornoaksi keras sadistis.[5]
Secara garis besar perbedaan tersebut lebih mengacu pada pengaruh yang diakibatakan
dua macam katogari pornografi tersebut. Pornografi dan pornoaksi keras dapat merangsang
orang bersangkutan untuk sampai melampiaskan dorongan seksualnya secara brutal
kepada orang lain. Pornografi dan pornoaksi ringan umumnya merujuk kepada
bahanbahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang secara sugestif
bersifat seksual, atau menirukan adegan seks, sementara pornografi dan
pornoaksi berat mengandung gambargambar alat kelamin dalam keadaan terangsang
dan kegiatan seksual termasuk penetrasi. Di dalam industrinya sendiri dilakukan
klasifikasi lebih jauh secara informal. Pembedaanpembedaan ini mungkin
tampaknya tidak berarti bagi banyak orang, namun definisi hukum yang tidak
pasti dan standar yang berbeda-beda pada penyalur-penyalur yang berbeda pula menyebabkan
produser membuat pengambilan gambar dan penyuntingannya dengan cara yang
berbeda-beda pula. Mereka pun terlebih dulu mengkonsultasikan film-film mereka dalam
versi yang berbeda-beda kepada tim hukum mereka.
Dalam kreteria pornografi dan
pornoaksi ada keterkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Talcott Person
melalui konsep sibernetik bahwa ada keterkaitan system budaya, sistem sosial,
sistem kepribadian, dan sistem organis.[6]
Dengan demikian perubahan pada nilai atau sistem budaya akan berakibat pada
perubahan sistem sosial. Perubahan pada tingkat ini akan berakibat tingkatnya
sistem kepribadian dan organisme aksi masyarakat. Melihat pergeseran tersebut
terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara masyarakat Barat dan masyarkat
Timur dalam memandang konsep seks dan pornografi dan pornoaksi
Menurut Johan Suban sesuatu dinilai
porno jika;
1) Isolasi seks, (seksualitas diciutkan
pada, hanya alat kelamin genital untuk merangsang nafsu birahi terlepas dari
nilai personal)
2) Perangsangan nafsu birahi[7]
3)
Membangkitkan dunia khayalan
C.
Media
dan Akses Pornografi dan Porno Aksi
Perkembangan media dalam balutan
pornografi dan pornoaksi bekembang dengan pesat. Mencari media kategori Porno'
ini bukan pekerjaan sulit. Hampir di setiap sudut kota, di agen-agen koran,
kios, dan berbagai tempat lain, cukup mudah untuk menemukan media kategori ini.
Media dengan tema seksualitas memang tumbuh dan berkembang luar biasa. Daya
tarik media kategori ini di mata konsumen barangkali terletak pada tampilan
gambarnya yang vulgar dan memancing birahi, serta isi pemberitaannya yang
berputar pada wilayah seksualitas. Sehingga wajar, bila dibandingkan dengan
media lainnya, media jenis porno ini sangat laris manis di pasaran. Jika media
dengan tema politik, atau sosial, atau tema lain sudah banyak yang gulung
tikar, media berlabel Porno ini ternyata masih berjaya di pasaran.
Pornografi dan pornoaksi dapat
menggunakan berbagai media — teks tertulis maupun lisan,
foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak termasuk animasi, dan suara seperti misalnya
suara orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang
bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya,
sementara majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan
cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu
pertunjukan hidup pun dapat disebut porno.
Diantara media yang sering digunakan
dalam penyebaran porno diantaranya:
1) Relief Klasik (patung lukisan dll)
2) Media Cetak (foto, buku cerpen,
majalah dll)
3) Audio Visual (Film)
4)
Internet
D.
Pornografi
dan Pornoaksi Perspektif Hukum Islam
1. Al-Qur’an
Islam memberikan definisi yang jelas
dan tidak mengambang tentang pornografi dan pornoaksi. Berkaitan dengan
pornografi dan pornoaksi, laki-laki dan perempuan dalam agama Islam terdapat
aturan tentang cara berpakaian dan kode tingkah laku yang Islami, yang secara umum
berlandasakan pada surah al-Nur ayat 30-31:
Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat" . Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.(QS. An Nuur 30-31)
Hal yang terpenting dalam menyoroti
tentang pornografi dan pornoaksi dan menjadi intinya dalam dunia Islam adalah
mengenai konsep aurat. Dan inilah yang kemudian menjadi titi sentral dalam
pembahasan tentang pornografi dan pornoaksi dalam perspektif Islam. Aurat berasal
dari bahasa Arab yang secara literal berarti celah, kekurangan, sesuatu yang memalukan
atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang membuat
malu jika dipandang.[8]
Ayat ini juga mengupas tuntas
kehalalan dan keharaman mata bagi komunitas kaum muslim. Seperti diketahui,
surat an-Nur ayat 30 ini menyebutkan secara eksplisit penggambaran istruksi
menundukkan pandangan dengan afirmasi pada kebolehan memandang obyek obyek
tertentu hal ini diafirmasikan dengan penulisan huruf “min” dalam konstruksi ayat yang
mengindikasikan ketidakharaman melihat dengan intensitas material tertentu, mak
bisadiptikan bahwa konsepsi gadhul bashar terbagi atas berbagi strata yaitu ghadul
bashar yang mencapai pada tingkatan wajib dan tidak wajib. Dengan demikian
konsep ghadul bashar mencakup praktek memalingkan pandangan dari hal-hal yang
sejatinya dibenci oleh khalayak umum karena menyalahi norma, seperti melihat
seluruh sudut rumah beda halnya dengan melihat sesuatu yang disinyalir sebagai
tindakan amoral.
keharaman memaperlihatkan perhiasan
dihukumi secara mutlak, yaitu kebolehan memperlihatkan perhiasan yang sejatinya
terlihat, yakni bagian-bagian yang jika diwajibkan menutupinya akan memberatkan
perempuan atau bagian tersebut jika tidak ditutupi menimbulkan konsekuensi yang
sulit, yaitu perhiasan yang tidak wajib di tutupi ditempat kerja seperti celak,
kutek dan cincin.
Larangan ini mengandung konsekuwensi
pada semua tindakan yang menarik perhatian laki-laki pada pemainan wanita atau
sebaliknya, dan yang menggerakkan ketertarikan kaum Adam pada lawan jenis baik
yang berhasal dari hasil penglihatan pada obyek tertentu atau pendengaran pada hiburan
yang disodorkan kaum Hawa seperti nyayian dan berbicara dengan suara yang mendayu-dayu.
Dalam ranah realitasnya layaknya tarian dan goyangan perempuan dihadapan laki-laki,
semprotan parfum yang berlebihan juga dilarang.
2. As Sunnah
dan Qoidah Ushul Fiqh
Pornografi dan pornoaksi yang
terkait dengan aurat ada beberapa hadits Rasulullah yang melarang memakai
pakaian yang tembus pandang, erotis, sensual, dan sejenisnya yaitu:
"Ada dua golongan dari ahli neraka yang siksanya belum
pernah aku lihat sebelumnya pertama adalah kaum yang membawa ekor cambuk
seperti ekor sapi yang digunakan memukul orang. ialah pengusa yang dzalim.
Kedua adalah wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang selalu maksiat.
Rambutnya sebesar punuk unta, mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan
mencium wanginya padahal bau surga itu tercium sejauh perjalanan yang amat
panjangnya."
HR. Muslim
Secara fiqih, menyaksikan (menonton)
secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya pornoaksi, pornografi dan
pornoaksi adalah haram, kecuali untuk tujuan yang dibolehkan oleh
syara', misalnya memberi pertolongan medis. Ini akan berlaku juga pada para
pembuat pornografi dan pornoaksi kamerawan, pengarah gaya, sutradara, dan lain
sebagainya. Sedangkan menurut definisi agama Islam, segala sesuatu yang
mengakibatkan seseorang cenderung melakukan perbuatan asusila fakhisyah
adalah berdosa. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Isra' 32:
wur
(#qç/tø)s?
#oTÌh9$#
(
¼çm¯RÎ)
tb%x.
Zpt±Ås»sù
uä!$yur
WxÎ6y
ÇÌËÈ
32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Pornografi dan pornoaksi dianggap
mendekati perbuatan zina sehingga harus dilarang, dan jika dilakukan maka
pelakunya harus bertobat karena dianggap berdosa. Apalagi sampai berbuat zina
maka dianggap telah melakukan dosa besar. Jika pelakunya masih bujangan maka
harus dicambuk sebanyak seratus kali mi'ata jaldah, dan jika pelakunya dalam
status sudah menikah maka harus dihukum dengan dilempar batu sampai meninggal
rajam[9]
Sementara itu, sebuah benda dengan
muatan pornografi dan pornoaksi dihukumi sebagai benda yaitu mubah.[10]
Namun demikian, kemubahan ini bisa berubah menjadi haram ketika benda wasilah
itu dipastikan dapat menjerumuskan pada tindakan keharaman. Sebab, kaidah
"ushul fiqih" yang mu'tabar menyebutkan: "Sarana yang
menjerumuskan pada tindakan keharaman adalah haram". Karena itu, kemubahan
ini juga tidak berlaku untuk penyebarluasan dan propaganda pornografi dan
pornoaksi atau pornoaksi yang akan memiliki dampak serius di masyarakat.
Seseorang yang dihadapkan pada suatu media porno, misalnya, memang dipandang
belum melakukan aktivitas haram karena media sebagai benda adalah mubah. Akan
tetapi, bila orang itu ikut dalam usaha membuat dan atau menyebarluaskan media
porno, maka menurut syariat, dia dianggap telah melakukan aktivitas yang haram
[1] Neng Djubaidah, Pornografi
Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam,
(Jakarta; Prenada Media, 2003) hal. 137
[3] Tim Penyusun Kamus Besar Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta; Balai Pustaka, 1988). hal. 354
[6] Burhan Bungin, Kontruksi
Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks Di Media Massa, (Jakarta; Prenada, 2003), hal. 99
[7]Tim Kajian LBH APIK Jakarta, Tanggapan atas RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi
Sebuah Draf Kajian, [Jakarta; APIK, tt], hal. 12
[10] Ibid hal 404
0 komentar:
Posting Komentar